Fenomena Kotak kosong atau calon tunggal menjadikan demokrasi Indonesia sepertinya omong kosong. Karena pesta demokrasi yang digelar yaitu kompetisi paslon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik melawan kotak kosong.
Fenomena ini menuai banyak komentar seperti fenomena kotak kosong ini tidak memenuhi kategori demokrasi. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa demokrasi lah yang menuntun lahirnya kotak kosong. Seperti unsur dari partai politik yang ikut menentukan adanya kotak kosong, sehingga tetap dinilai demokratis. Poin penting yang harus dipegang dari kotak kosong ini ialah kehilangan esensi demokrasi.
Esensi dari demokrasi adalah perebutan, pertarungan, dan kompetisi yang adil dan setara. Jika tidak adanya perebutan, pertarungan, dan kompetisi, maka mustahil adanya demokrasi. Namun jika dikatakan kotak kosong atau calon tunggal tetap dikategorikan demokratis, bisa jadi demokrasi tersebut demokrasi hantu, karena kompetisinya sepertinya sangat paradoks.
Mengapa demikian ? Karena menurut Lipset, guru besar Pemerintahan dan Hubungan Sosial di Universitas Harvard merumuskan tiga unsur mengukur derajat demokrasi, yakni; (1). Kompetisi nyata dan meluas di kalangan individu dan kelompok dalam memperebutkan jabatan-jabatan politik tanpa menggunakan paksaan; (2). Partisipasi politik yang luas; dan (3). Tingkat kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik.
Kotak kosong tidak memenuhi unsur dari demokrasi dan cenderung dipaksakan. Calon tunggal sudah pasti menihilkan kompetisi untuk merebut kekuasaan politik, tidak ada partisipasi politik yang luas, dan tidak menyajikan pesta demokrasi yang adil. Sehingga menjadi momok yang menakutkan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Sebanyak 13 kotak kosong pada pemilukada serentak di tahun 2018 akan menjadi sesajen yang akan menumbuhkan fobia pada kompetesi, pertarungan, dan perebutan kekuasaan secara demokratis.
Calon tunggal sebenarnya manifestasi dari nalar yang anti pada demokratisasi. Relasi memusatkan kekuasaan tentu ada ketika kotak kosong ini diinisiasikan oleh hantu demokrasi. Hantu tersebut adalah elite yang demokrasifobia, korup, dan berkonspirasi berkedok demokrasi.
Jika fenomena calon tunggal ini akan berjalan secara demokratis dengan segala kemungkinan akan bisa terjadi seperti kotak kosong yang menang. Sepertinya ini logika cacat yang ingin dipaksakan. Kotak kosong yang menang ? ini mustahil. Seperti mengibaratkan Partai Komunisme kalah di Cina atau di Soviet .
Malahan calon tunggal berpeluang untuk mengklaim mendapatkan dukungan secara demokratis dan mengintervensi demokrasi. Konteks demokrasi kotak kosong dapat dilihat pada pemilu di Soviet dan Orde Baru. Pemilihan Pemimpin Soviet Tertinggi tahun 1946 mengklaim mendapatkan 99,7 persen suara dari 100 juta orang, dan tahun 1962 mendapatkan 99 persen suara mendukung Partai Komunisme.
Pada pemilu 1971 dan 1977 Golkar selalu mendulang suara di atas 50 persen. Karena mengintervensi pemilu melalui militer dan birokrasi.
Kotak kosong atau calon tunggal proyeksi canggih untuk tipuan muslihat. Selain karena tidak terselenggaranya kompetisi yang berintegritas tetapi juga melumpuhkan kesadaran dari partai politik. Contohnya fungsi partai politik sebagai tempat pendidikan politik dan kaderisasi sepertinya tidak sampai dijangkau oleh partai. Banyaknya partai politik sampai tidak ada kader yang dicalonkan. Apakah stok kader partai habis ?
Sangat ironis memang, dari banyak partai politik terjebak pada kepentingan politik yang picik. Kepentingan politik tersebut membrangus eksistensi dari partai politik itu sendiri. Yang paling ditakuti kepentingan kotak kosong ini yaitu sebagai sumber dari lahirnya hantu demokrasi yaitu koruptor. Termasuk proses kaderisasi dan pendidikan politik dilumpuhkan dengan terang-terangan menambah catatan buruk partai politik sebagai lembaga peyumbang koruptor terbesar di Indonesia.