Lihat ke Halaman Asli

PKB dan Jokowi; Chemistry Ideologi, Basis Konstituen dan Model Kepemimpinan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilihan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk bergabung dalam kerjasama politik dengan PDI Perjuangan mengusung pasangan capres dan cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), bukanlah sebuah keputusan yang tiba-tiba tanpa didasari atas pertimbangan yang matang. Setidaknya terdapat tiga pertimbangan utama mengapa PKB menjatuhkan pilihan bekerjasama dengan PDIP dan Jokowi sebagai capresnya. Tiga pertimbangan tersebut adalah, soal kesamaan ideologi, kesamaan basis konstituen dan kesamaan dalam melihat model kepemimpinan nasional yang ideal.

1.Kesamaan Ideologi Dalam Memandang Ke-Indonesia-an

Secara ideologis, antara NU dan Marhaen tidak ada perbedaan yang berarti bahkan dalam beberapa hal saling melengkapi dan menguatkan. Ideologi NU berakar pada pemahaman Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, sebuah pemahaman Islam yang toleran dan moderat yang berakar kuat pada Islam Nusantara yang dibawa oleh para Walisongo yang telah berhasil mengawinkan Islam dengan tradisi keagamaan Nusantara yang sudah lebih dulu hadir. Bagi NU, Ideologi Islam posisinya adalah menjadi landasan spirit kebangsaan bukan sebagai norma hukum positif negara. Ada terminologi atau adegium sederhana yang dapat menggambarkan bagaimana warga NU memandang Islam kaitannya dengan Ke-Indonesiaan, yaitu; “Kami ini orang asli Indonesia yang kebetulan mendapatkan hidayah masuk agama Islam”. Bandingkan dengan terminologi yang digunakan kelompok Islam lain seperti ini: “Kami ini orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia”. Dengan sudut pandang Islam dan KeIndonesiaan seperti itu, maka jelas Ideologi Islam Aswaja NU komplementer dengan Ideologi Marhaenisme. KeIslaman NU bukanlah sebuah ancaman bagi Keindonesiaan Marhaenisme, pun sebaliknya, KeIndonesiaan Marhaenisme bukanlah ancaman bagi KeIslaman NU.

Kesamaan cara pandang tentang KeIndonesiaan tersebut menjadikan tradisi, watak dan perilaku warga NU dan kaum Marhaen dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari berjalan seiring dalam tingkat toleransi yang sangat tinggi. Dan hal ini adalah modal sosial yang tak ternilai harganya untuk bisa membangun bangsa yang kuat dari akar rumput sampai ke tingkat yang lebih atas.

2.Kesamaan Basis Konstituen (Mustadz’afin)

Kesamaan lain NU dan Marhaen adalah pada aspek basis konstituen. Basis konstituen NU dan Marhaen adalah kelompok masyarakat lemah atau dalam istilah fiqh nya kaum mustadz’afin. Mereka ini seringkali menjadi korban atas ketidakadilan kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintah. Menggunakan terminologi Bappenas, secara ekonomi, warga NU dan kaum Marhaen mayoritas adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kenapa mereka masuk kategori MBR, hal ini terkait dengan kebijakan pembangunan Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun tidak memihak secara sungguh-sungguh terhadap ekonomi lemah. Kebijakan ekonomi neoliberalisme yang diambil oleh pemerintah menjadikan kue pembangunan hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya kamuflase dari bangunan ekonomi yang rapuh. Hal itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang tidak berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai.

Selain soal ekonomi, basis konstituen NU dan Marhaen juga sama dalam hal tingkat pendidikan. Pendikan pesantren sebagai basis utama pendidikan warga NU sampai hari ini masih menjadi subordinat dari sistem pendidikan nasional. Hal serupa juga dialami kaum Marhaen. Di sekolah-sekolah umum, sistem pendidikan semakin hari semakin mengarah ke komersialisasi pendidikan. Hanya mereka yang memiliki pendapatan tinggi yang bisa mengakses pendidikan berkualitas.

Kesamaan karakter konstituen NU dan Marhaen adalah soal mobilitas sosial. Dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, membuat konstituen NU dan Marhaen mengalami kesulitan ketika ingin melakukan mobilitas sosial (naik kelas). Mereka tetap berada di tempatnya, terisolasi di levelnya dan sulit untuk bisa naik kelas mengenyam kehidupan yang lebih baik dan lebih layak.

3.Jokowi; Mewarisi Kepemimpinan Egaliter Pesantren

Apa sih yang menarik dari sosok Jokowi bagi warga Nahdliyin? Tidak lain dan tidak bukan adalah gaya kepemimpinannya yang egaliter dan tidak berjarak dengan rakyat. Sebuah model kepemimpinan yang sangat akrab dengan dunia pesantren dan sudah diteladankan oleh para kyai dan ulama NU sejak zaman dulu sampai sekarang. Kita tentu masih ingat bagaimana Gus Dur ketika menjadi Presiden RI keempat. Istana yang sebelumnya dikenal angker dan menakutkan diubah menjadi terbuka dan familiar sehingga dikenal dengan istilah Gus Dur; Istana untuk rakyat. Gus Dur pula yang mengajarkan bagaimana seorang pemimpin itu tidak boleh terjebak dengan protokler yang ketat agar bisa bertemu dan berdialog dengan rakyat kapanpun dan dimanapun. Para kyai adalah praktisi blusukan yang sesungguhnya. Melayani umatnya nyaris tanpa mengenal jarak, waktu dan biaya. Prototipe serupa juga dilakukan oleh Jokowi. Ia bisa muncul tiba-tiba di tengah masyarakat tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia bisa berdialog dengan siapa saja tanpa memandang kelas sosial dan latar belakang suku, agama dan ras.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline