Di depan Masjid Nurul Hidayah, Batulicin, Kalimantan Selatan, usai magrib, sembari menanti azan isya berkumandang, yuk nikmati pisang gapit yang enak dan masih panas itu.
Inilah bukti khazanah kuliner nusantara yang banyak dan beragam itu.
Pisang gapit ini dibikin dari pisang kepok setengah matang. Dipanggang di atas bara api sekitar dua hingga tiga menit. Atau sebelum berubah warna betul. Dibolak-balik agar kematangannya merata.
Lalu diangkat dan diletakkan di antara dua papan jepitan. Dipres hingga melempeng. Setelah itu ditaburi kuah dari gula merah, santan, telur, sedikit garam dan sedikit tepung terigu.
Soal rasa, ada berbagai macam. Jika mau rasa pandang, maka dicampur dengan air daun pandang asli. Jika ingin rasa nangka maka kuah pisang gapit ini dicampur dengan irisan buah nangka. Bila musim durian, maka asyik juga menikmati pisang gapit rasa durian.
Hmmm.... menikmati pisang gapit ini, ingatan saya langsung tertuju ke kampung halaman saya di Makassar. Di sana ada kuliner khas bernama Pisang Epe', yang banyak dijajakan di sekitar Pantai Losari.
Bedanya, pisang gapit kuahnya encer berwarna cokelat muda, sementara pisang epe' kuahnya dari gula merah yang jika disajikan begitu kental dengan berbagai aroma buah segar. Warnanya cokelat tua.
Jika ke Makassar, rugi kalau tidak mencoba pisang epe'. Makanya di Batulicin ini saya paling suka menikmati pisang epe' ala Batulicin, alias pisang gapit.
Nah, sudah azan. Mari kita tunaikan salat isya di masjid.
ZT -Batulicin, 30 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H