Pagi, ketika semburat jingga mulai nampak di antara pohon kelapa, saya telah menghabiskan langkah tiga ribu meter lebih, menyusuri jalan-jalan di Batulicin sejak keluar dari masjid tadi.
Saya langsung melipir ke sebuah warung kopi, lengkap dengan aneka macam kue pagi yang bisa dipilih sesuka hati, untuk menemani sejenak menikmati teh hangat.
Warkop rakyat itu di kerap saya lewati di Jalan Hidayah, Batulicin. Menyatu dengan warga yang sedang ngopi sebelum mereka beraktifitas. Warungkop-warkop kecil seperti ini begitu banyak saya lihat di kota kecil ini. Bangunan seadanya, dilengkapi meja panjang berbentul L dan juga bangku kayu mengikuti lekuk meja. Dilapisi terpal motif kotak-kotak yang warnanya sudah kusam termakan usia.
Kue-kue beraneka macam itu berasal dari berbagai sumber itu di antar langsung pebuatnya sejak subuh tadi. Kue-kue itu digelar diatas meja panjang yang sudah lusuh, namun tetap nampak bersih. Saya terkadang bingung memilih, kue mana yang harus dinikmati. Banyak jenisnya.
Dari mana kue-kue yang begitu banyak tersaji menantang di atas meja ini?
"Kue-kue ini dibikin oleh orang-orang dekat sini. Ada yang mengantarnya setiap subuh,"kata pemilik warung setelah saya memesan teh manis panas. Ia nampak dibantu sama istrinya.
Anda tahu berapa saya bayar setelah menikmati segelas besar teh dan tiga biji kue?
Hanya Rp. 5.000,-. Begitu terjangkau! Teh panas manis dua ribu, kue seribu sebiji.
Sederhana, pemilik warung tak perlu bikin kue. Ia mengambil kue-kue itu dari pembuatnya hanya Rp. 800/biji. Ada keuntungan dua ratus rupiah perbiji. Yang tidak laku diambil kembali pembuatnya menjelang siang.
"Rata-rata seribu biji yang habis setiap pagi," unkap pemilih warung.