Lihat ke Halaman Asli

Zainal Tahir

Politisi

Kenangan "Pattongko Kaddo"

Diperbarui: 30 September 2019   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: zainaltahir

Entah sudah berapa lama saya tak menemukan lagi penutup hidangan di atas meja makan seperti ini. Di kampung halaman saya, Kabupaten Gowa, gambar seperti di atas bernama pattongko kaddo. Bahasa Makassar yang artinya kira-kira penutup hidangan, atau makanan di meja. 

Yang pasti sejak masa kanak-kanak hingga saya menuntaskan sekolah di perguruan tinggi, setiap saya tiba di rumah sepulang dari sekolah, saya menemukan pattongko kaddo di atas meja sederhana yang sudah uzur di rumah saya. Sama persis seperti gambar di atas.  

Suatu saat ibu saya mengganti pattongko kaddo itu lantaran sudah rusak. Jerujinya sudah banyak yang patah karena termakan usia. Kecoa dan cicak sudah dapat mengganggu makanan di meja. Saat itu ibu saya menggantinya dengan bentuk bulat berwarna biru langit.

Saya terkenang ketika itu setiap pulang saya langsung menghampiri meja makan. Di atas meja di dalam pattongko kaddo sudah tersaji makanan pokok yang teramat sederhana; nasi, ikan teri goreng tepung dan tumis kangkung. Semua makanan itu dalam keadaan dingin karena ibu saya memasaknya sejak pagi. 

Ada yang menarik karena nasinya bercampur dengan kerak nasi berwarna kehitam-hitaman setelah beras dimasak langsung di atas periuk logam. Bukan dikukus di atas dandang aluminium. 

Untuk ukuran keluarga kami saat itu, dandang tergolong alat memasak mewah yang tak sanggup ibu beli. Dan, cara memasak nasi dengan rice cooker pada saat itu, belumlah terpikirkan oleh penemunya sekalipun.

Dokumentasi Pribadi

Hidangan nasi, ikan dan sayur dingin di dalam pattongko kaddo di rumah kami yang sangat sederhana itu hanya ada pada hari Ahad hingga Rabu. 

Hari selebihnya ikan dan sayur sudah berganti menjadi telur yang digoreng dengan kelapa parut. Dua biji telur dan seperempat biji kelapa. Ini cukup, atau berusaha dicukup-cukupkan untuk konsumsi makan siang saya dan enam adik saya yang masih kecil-kecil. 

Bagaimana tak begitu kalau kehidupan keluarga kami hanya tertumpu kepada Bapak yang hanya tukang kayu, atau lebih tepat dibilang buruh harian yang diupah setiap sabtu sore.

Saya teringat ketika itu kalau saya pulang sekolah bersamaan dengan adik-adik saya, dan langsung menyerbu meja makan yang manampilkan menu ala kadarnya tadi di balik pattongko kaddo. Kami berebutan makanan, kadang ada adik saya yang tak kebagian sehingga ribut. 

Di situ sering saya melihat ibu saya diam-diam meneteskan airmata melihat betapa kehidupan kami waktu itu teramat susah. Kadang Ibu dengan tegas turun tangan membagi makanan itu, agar sebisanya merata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline