Saya berdiri di tepi jalan Inspeksi Kanal, di depan kompleks kecil Sofia Town House, di mana rumah saya berada, di kawasan yang beberapa tahun lalu saya masih sebut dengan Jalan Hertasning Baru. Kini jalan Aroeppala.
Saya memandang ke selatan, Kabupaten Gowa sekitar setengah kilo di sana. Saya menoleh ke kiri, di timur semburat kuning bulat terang muncul dari sela puncak Bawakaraeng.
Saya memfokuskan pandangan ke utara, agak buram tanpa kacamata. Sekitar setengah kilo lagi ke sana, sungai kecil ini bercabang tiga. Satu terus melintasi kawasan Borong, Batua Raya, menyusuri Racing Centre, memotong jalan protokol yang macet di samping Universitas Bosowa dan Universitas Muslim Indonesia, masuk di daerah Pampang. Lalu bergabung di Sungai Tallo yang bermuara di Selat Makassar.
Cabang yang ke kiri masuk ke Perumnas Tidung, memotong kembali di Jalan Aroeppala yang dikenal dengan sebutan Jembatan 1, menjadi parit dan got-got kecil, dan buntu di sana.
Cabang yang ketiga menukik ke kanan memotong Jalan Tun Abdul Razak sebagai terusan Jalan Aroeppala -Jembatan 3 namanya kalau warga di sana pesan online- lalu menuju Batangkaluku di Gowa.
Saya menoleh tepat di sisi kanan saya berdiri, sungai selebar sekitat 25 meter, mengalirkan airnya yang berbau got menuju selatan. Hitam dan semak belukar memenuhi sisi-sisinya di sepanjang penglihatan saya ke selatan.
Oh, kenapa air sungai kecil ini mengalir ke arah Gowa?
Saya telusuri terus, oh rupanya sungai kecil ini semakin ke sana semakin mengecil hingga membentuk semacam selokan, melintasi daerah Sungguminasa, tempat kelahiran saya, dan pada akhirnya menemui Sungai Jeneberang, tempat bermain saya masa kecil. Muaranya ke Selat Makassar juga.
Pembangunan kota yang semrawut dan menjamurnya pemukiman yang tak tertata dengan baik, membuat aliran sungai ini yang kocar-kacir. Bahkan, banyak blok-blok perumahan yang menutupi dengan beton di atas selokan dan got-got yang ada di depan rumah earha.
Parahnya, airnya bau berwarna hitam mengalirkan sampah yang tak sedap dipandang mata.