Sudah lama saya punya keinginan berkunjung ke Cape Town, Afrika Selatan. Ini semacam impian yang entah kapan bisa terwujudkan.
Kini, setelah saya berdiri di Gate 5 Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jumat malam 30 November 2018 lalu, ketika saya hendak boarding di penerbangan berkode SQ 967, impian yang sekian lama terpendam itu pun sebentar lagi jadi kenyataan.
Sebelumnya, saya hanya bisa membaca lewat internet bahwa kota Cape Town merupakan asosiasi dari istilah Cape dari Harapan Baik. Ia berada di Propinsi Cape Barat, berpenduduk 1,3 juta, sama seperti jumlah penduduk Kota Makassar, kampung halaman saya.
Cape Town berada di ketinggian 0 meter di atas permukaan laut dan terletak di sisi pegunungan yang berjajar di Cape Peninsula berada sejajar dengan permukaan air laut.
Cape Town sungguh ini karena dilatari oleh Table Mountain yang konon merupakan gunung tertua di dunia.
Di kursi bussiness Class Singapore Airlines saya duduk tenang, dan akan menikmati belasan jam perjalanan dari Jakarta, transit Singapura, transit lagi di Kota Johannesburg, sebelum sampai di Cape Town, ujung selatan benua Afrika, yang langsung menghadap Samudera Atlantik.
Di Afrika Selatan, Cape Town merupakan kota kedua yang paling terkenal. Kota ini adalah pelabuhan besar di pinggir Samudra Atlantik.
Kota ini mempunyai hubungan kereta api yang baik dengan daerah pedalaman. Letaknya di kaki Gunung Meja. Di kota ini terdapat Gedung Parlemen (1886) dan Universitas Cape Town (1916).
Selain kota pelabuhan, Cape Town juga memiliki banyak tempat wisata yang menarik. The Victoria dan Alfred Waterfront adalah lokasi yang tepat untuk berbelanja dan juga menjadi daerah di mana ada dua akuarium laut.
Dan, saya menginap tepat di kawasan Waterfront bernama The Table Buy Hotel.
Di daerah Western Cape terkenal sebagai daerah penghasil minuman anggur. Karena menariknya kota ini, tak sedikit warga asing yang kemudian menetap, yang menjadikan Cape Town menjadi kota kosmopolitan.