Bagi Asmah Tahir, adik bontot saya, jauh-jauh ke Berlin hanya satu impiannya; ingin menikmati sensasi Tembok Berlin.
Sensasi Tembok Berlin?
Begitu saya bilang kunjungan kita hari ini ke Berlin, ia langsung berkemas. Walau di luar masih gelap pukul 7 dan dingin 3 C.
Dari Wismar ke Berlin ditempuh tiga jam lebih menggunakan kereta RB, berlantai dua, ekslusif tapi sebentar-sebentar berhenti. Ada 22 titik stops. Namun perjalanan mengasyikkan karena cuaca cerah, bisa lihat matahari. Keretanya pun nyaris tak bergetar dan sama sekali tak bising. Bunyi rel tak sampai di telinga.
Tiba di Berlin Hbf, salah satu dari 10 stasiun terbesar di dunia, yang tampil kayak mal-mal mewah dengan hiruk-pikuk begitu banyak orang dari berbagai penjuru Eropa.
"Mana Tembok Berlin?" Pertanyaan ini yang langsung terlontar dari adik saya. "Lebih baik kita langsung ke sana sebelum gelap," desaknya.
Maka setelah makan siang di McD Berlin Hbf, anak saya langsung beli tiket dalam kota. 4 Euro per orang sudah bisa keliling Berlin, naik tram, bus dan metro. "Tiket ini kita bisa pakai sampai jam 3 dini hari. Sampai tak ada bus lagi yang jalan di kota Berlin ini," kata Rifqi menjelaskan.
Sampai di tujuan utama Tembok Berlin ini, Asmah bertanya lagi, "Mana Tembok Berlinnya?"
"Sudah runtuh!" jawab Rifqi.
"Yang tersisa hanya puing-puing. Hahaha," sela saya.
"Oh, cuma begini saja kah?" Asmah nampak kecewa. "Saya kira Tembok Berlin itu tinggi, panjang berbelok-belok dan banyak tangganya."