Seperti kota mati. Sunyi sepi. Hanya 7 orang yang turun dari kereta di stasiun Wismar tadi malam sekitar pukul 22.45 waktu setempat, termasuk kami lima orang di antaranya.
Di luar stasiun, ada 3 taksi menunggu. 2 sedan dan satu van. Semuanya bermerek mercy. Penumpang kereta yang dua orang bule yang turun dari kereta tadi, seorang di antaranya langsung ambil sepeda yang terparkir dan terkunci di tepi jalan. Yang seorang lagi menghilang di kegelapan malam, entah ke mana?
Rifqi Nafiz langsung ambil taksi yang muat 7 orang. Mercy Vito. Dari stasiun ke tempat tinggalnya, ongkosnya 12 Euro. Rifqi menyarankan jalan kaki. Katanya ditempuh cuma 30 menit. Malam-malam begini? Di situasi dingin 5 C. Capek deh!
Pagi-pagi saya melongok ke jendele. Dari atas lantai 5 asrama mahasiswa yang ditempati Rifqi. Lebih mirip apartemen, cuma tak dilengkapi lift. Dingin, sambil mengedarkan pandang.
Sambil menyapa sunyi di pagi yang dingin. Dingin sekali!
Suasana kota kecil ini begitu senyap. Nyaris tak ada orang lalu lalang. Ada beberapa mobil terparkir. Selebihnya, begitu banyak sepeda yang terparkir rapi di depan gedung-gedung hunian yang kebanyakan berlantai 5.
Siangnya, Rifqi mengajak Jum'atan. Jalan kaki sekitar sekilo. Di masjid yang muat sekitar 75 jamaan ini sholat Jum'at berlangsung dua sesi. Sesi pertama sekitar jam 12, sesi kedua menunggu jamaah lagi, dan berlangsung jam satu siang. Saya tiba di masjid itu hampir pukul 13.00, ketika mau berlangsung sholatt Jum'at sesi kedua. Khotbah dalam bahasa Arab.
Usai Jum'atan saya ketemu teman-temannya Rifqi. Sama-sama mahasiswa Jerman asal Indonesia. Mereka semua punya pandangan sama, Wismar tenang dan nyaman. Cocok untuk pelajar. Nyaman untuk belajar. Jauh dari kebisingan, dan tempat-tempat hiburan susah terjangkau.
"Di Wismar ini enak dan asyik untuk sekolah, Om," ungkap Adam, mahasiswa jurusan Mekatronik. Ia nampak paling kecil yang baju biru di bawah ini. Dan ternyata ia anak Makassar.
Saya bertanya, "Apa itu Mekatronik?"
"Mekanikal elektronik, Om," jawabnya.