Wilayah Sparta berada di sebuah lembah yakni tepi bagian timur sungai Eurora. Penduduk Sparta sebagai bangsa pendatang (Doria) menggantungkan hidup mereka dari sungai ini. Uniknya, Sungai Eurora yang dangkal menjadikan penduduk Sparta tidak memiliki keahlian dalam bidang perkapalan dan pelayaran. Hal ini sangat berbeda jika kita bandingkan dengan bangsa-bangsa yang hidup di wilayah Yunani lainnya. Berasal dari wilayah pegunungan membuat Bangsa Sparta menggantungkan hidup dengan bercocok tanam. Kota Messene (pusat kota di wilayah Sparta) sendiri dapat mereka ambil dari Bangsa Mycenae (630 SM) setelah menyebrangi pegunungan Taygetus.
Setelah menguasai wilayah Peloponesia, Bangsa Sparta kemudian mengembangkan pola pemerintahan yang memiliki keunikan tersendiri. Mereka tidak mengenal penguasa tunggal, melainkan mengangkat dua orang saudara menjadi penguasa secara bersamaan. Bangsa Sparta sejatinya telah mengenal sistem departemen pemerintahan yang mirip dengan yang ada pada masa kini. Seperti terdapatnya kabinet (Ephor), kekuasaan legislatif (Apella), dan dewan perwakilan rakyat (Gerus). Sistem pemerintahan ini mampu mengantarkan Sparta menjadi bangsa yang berperadaban maju.
Secara sepakat, bangsa Sparta terikat oleh hukum perundang-undangan yang sangat ketat walau tidak disebutkan secara tertulis. Hukum perundang-undangan ini dibuat oleh salah seorang negarawan bernama Lycurgus pada tahun 600 SM. Sistem perundang-undangan tidak hanya diperuntukkan bagi Bangsa Sparta saja, akan tetapi semua bangsa yang berada di bawah hegemoni mereka. Sistem Yuridis Sparta ini pada akhirnya mampu mempengaruhi sistem kehidupan wilayah Pelopnesia dari aspek yang kecil sampai besar.
Salah satu hal yang diatur dalam Sistem Yuridis ini adalah keperajuritan. Anak laki-laki yang telah berumur 7 tahun akan menjadi hak Negara. Artinya setiap anak akan diambil dari ibu mereka dan kemudian menjalani pendidikan militer sampai usia dewasa. Para ibu juga dituntut untuk dapat melahirkan bayi-bayi tangguh yang nantinya akan menjadi seorang kesatria. Oleh karena itu, perempuan Sparta dikenal dengan kebebasan mereka dalam berpendapat dan berekspresi, yang mana hal ini belum tentu ditemukan pada bangsa Yunani lain. Karena sistem hukum yang tidak tertulis, maka mereka menjalankannya dengan sistem saling mengawasi. sistem ini membuat mereka akan menindak satu sama lain jika terdapat peraturan yang dilanggar.
Ketatnya peraturan yang berlaku menjadikan Bangsa Sparta kuat dan tangguh dalam berperang. Mereka tidak akan meninggalkan medan pertempuran meskipun dalam kondisi terdesak. Prajurit Sparta akan tetap berada di posisinya, meskipun harus mati di medan perang. Mereka semua tunduk pada peraturan yang telah mendarah daging di setiap rakyat Sparta. Secara tidak langsung, hukum yang mereka buat telah membawa Sparta di puncak kejayaaannya.
Dalam sisitem sosial, Bangsa Sparta membagi masyarakat atas tiga kelas, yakni Spartiates, Periokoi, dan Hellots. Spartiates adalah mereka yang merupakan prajurit tangguh dan dianggap sebagai penduduk terhormat. Adapun Perikoi adalah mereka yang menjalankan roda perekonomian, biasanya diisi oleh para petani. Sedangkan Hellots adalah para budak yang memiliki kebebasan terbatas. Mereka biasanya merupakan penduduk yang berasal dari bangsa taklukan Sparta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H