Strategi Membangun Ketahanan Pemerintahan Desa di Tengah Krisis Kepemimpinan
***
Keluarnya anggota tim pendiri dalam sebuah organisasi, terutama dalam konteks startup atau proyek komunitas, sering kali menjadi tantangan besar yang dapat mengguncang stabilitas dan kelangsungan usaha atau program. Artikel ilmiah oleh Rebecca Preller, Nicola Breugst DKK (2023) mengkaji bagaimana tim pendiri membangun ketahanan resilience setelah keluarnya co-founder.
Dengan menggunakan pendekatan studi kasus pada enam tim pendiri, mereka menemukan bahwa ketahanan tim lebih bergantung pada respons psikologis dan perilaku setelah krisis daripada karakteristik awal tim itu sendiri. Ini menarik karena dalam banyak kasus, tim yang mampu menjaga fleksibilitas, komunikasi terbuka, dan solidaritas ternyata lebih sukses bertahan dan bahkan berkembang setelah kehilangan anggota kunci.
Dalam konteks pemerintahan desa, di mana struktur organisasi sering kali rapuh dan sangat bergantung pada beberapa figur kunci, keluarnya seorang pemimpin atau anggota inti dapat berdampak buruk terhadap jalannya pemerintahan dan pelayanan publik. Indonesia memiliki sekitar 75.000 desa, dan ketahanan organisasi menjadi isu penting, terutama di daerah-daerah terpencil.
Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2021 oleh Kementerian Dalam Negeri, sekitar 15% kepala desa mengundurkan diri sebelum masa jabatan mereka berakhir karena berbagai alasan, termasuk tekanan politik dan masalah kesehatan. Dengan situasi seperti ini, penting bagi pemerintahan desa untuk memahami dinamika tim dan bagaimana ketahanan organisasi dapat dibangun untuk menghadapi krisis yang tidak terduga.
Resiliensi tidak hanya relevan untuk dunia usaha, tetapi juga sangat penting bagi pemerintahan desa dalam menjaga stabilitas pelayanan publik dan memastikan keberlanjutan program pembangunan di tingkat lokal.
***
Dalam artikel Preller dkk. (2023), mereka menekankan pentingnya ketahanan tim dalam menghadapi krisis, terutama ketika co-founder atau anggota kunci keluar dari organisasi. Temuan ini memberikan gambaran yang relevan bagi pemerintah desa, di mana figur sentral sering menjadi landasan keberhasilan operasional.
Ketika seorang kepala desa atau tokoh penting dalam struktur pemerintahan desa mengundurkan diri atau meninggalkan posisinya, dampaknya bisa sangat merusak jika tidak ada respons yang tepat dari tim. Sebagai contoh, jika pemerintah desa tidak memiliki struktur dan mekanisme ketahanan yang kuat, keluarnya pemimpin dapat menyebabkan stagnasi dalam implementasi program-program desa, menurunkan kualitas pelayanan publik, atau bahkan memicu konflik internal.
Penelitian Preller dkk. menunjukkan bahwa respons psikologis dan perilaku tim menjadi kunci untuk membangun ketahanan. Dalam konteks pemerintahan desa, ini berarti pentingnya menjaga komunikasi terbuka antara anggota perangkat desa, serta membangun solidaritas yang kuat di antara mereka. Desa-desa yang mampu beradaptasi dengan perubahan figur kunci lebih mungkin untuk tetap stabil dan melanjutkan program pembangunan mereka. Misalnya, ketika seorang kepala desa meninggalkan jabatannya, wakil atau perangkat desa lainnya harus mampu mengambil alih tanggung jawab dengan cepat dan efisien untuk memastikan kelangsungan kepemimpinan dan operasional.
Menurut laporan Kementerian Dalam Negeri tahun 2022, terdapat 1.500 desa di Indonesia yang mengalami pergantian kepala desa di tengah masa jabatan, dan hanya sekitar 50% dari desa-desa tersebut yang berhasil menjaga stabilitas pasca-pergantian pemimpin. Dalam kasus ini, ketahanan tim dalam pemerintahan desa sangat dipengaruhi oleh kemampuan perangkat desa lainnya untuk bekerja sama dan berbagi tanggung jawab. Jika respons terhadap krisis tidak dikelola dengan baik, desa bisa kehilangan momentum dalam pelaksanaan proyek pembangunan atau pengelolaan anggaran desa.
Fleksibilitas dan manajemen konflik juga menjadi faktor penting dalam membangun ketahanan. Dalam pemerintahan desa, sering terjadi ketegangan antara perangkat desa dan warga yang dapat diperburuk oleh keluarnya pemimpin desa. Oleh karena itu, strategi mitigasi risiko seperti pelatihan kepemimpinan bagi perangkat desa, program rotasi kepemimpinan, dan pengembangan kemampuan komunikasi sangat penting untuk menjaga kelancaran administrasi desa. Penelitian Preller dkk. menegaskan bahwa organisasi yang mampu beradaptasi dan berinovasi dalam merespons krisis lebih cenderung berhasil mempertahankan ketahanannya.