Darimanakah kita dapat mengetahui karakteristik dari seorang penulis, pencipta lagu? Salah satunya ialah dari diksi yang digunakan. Diksi sendiri terkait dengan daya jangkau kata. Seberapa sering para arsitek kata menggunakan frase tersebut, seberapa luas daya baca dapat dilihat dari daya jangkau kata. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 80.000 ribu lema. Masih kalah jauh dengan Inggris yang memiliki lebih dari 1.000.000 lema. Dari kuantitas lema, dapat berimplikasi pada kekuatan bercerita dan kemampuan menjelaskan. Lema yang tidak terlampau luas, membuat variasi, dan pengulangan pada sejumlah kata. Daya jangkau kata sendiri berkorelasi dengan budaya. Indonesia yang memiliki budaya makan nasi, mengenal istilah padi, beras, gabah, yang kesemuanya terkait dengan nasi. Beda kiranya dengan penutur dalam bahasa Inggris yang tidak memiliki budaya makan nasi, mereka lebih terbiasa dengan satu kata rice. Contoh lainnya dapat dilihat pada kata salju. Indonesia yang tidak memiliki budaya musim dingin hanya mengenal kata salju. Berbeda kiranya dengan orang eskimo yang setiap hari bertemu salju. Mereka mempunyai banyak sebutan untuk kata salju, misalnya, aput (salju yang sudah ada di tanah), gana (salju yang jatuh/turun), piqsirpoq (salju yang melayang), dan qimuqsuq (salju yang berembus) (Republika, Sabtu 11 Februari 2012: hlm12). Daya jangkau kata memperlihatkan penjelajahan bacaan dari seseorang. Para pecinta baca memungkinkan untuk memiliki jumlah kata yang lebih variatif dan banyak dibandingkan mereka yang tidak gemar membaca. Hal ini juga terlihat ketika seseorang berbicara, akan termaktub tentang input-input bacaan yang pernah dikonsumsinya. Para founding fathers Indonesia merupakan para pembaca yang ulung. Maka tak mengherankan daya jangkau kata mereka begitu luas. Agus Salim misalnya menguasai 9 bahasa, Natsir cakap menguasai 5 bahasa. Kemampuan berbahasa asing tersebut akan bertalian dengan daya jangkau kata dan upaya menjelaskan dalam narasi tulisan. Tulisan-tulisan dari Agus Salim menyelipkan beberapa frase bahasa asing. Pun begitu dengan Natsir. Mengkombinasikan frase Indonesia dengan frase asing merupakan konsekuensi logis dari daya keterjangkauan bacaan. Disamping ada beberapa istilah yang sukar dipadankan dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sendiri merupakan bahasa yang mendapatkan pengaruh dari bahasa Melayu, Arab, Inggris, Belanda, Portugis. Jadi teknik kombinasi frase bukan merupakan sesuatu yang seharusnya dimusuhi dan dibenturkan dengan keharusan menjaga bahasa Indonesia. Seperti dituturkan oleh Radhar Panca (budayawan) bahwa bahasa Indonesia sudah semestinya menjadi bahasa yang hidup, liat, dan terus berkembang. Saya sendiri secara personal tidak mempermasalahkan dalam suatu tulisan terdapat percampuran frase Indonesia dan asing. Pada beberapa orang, saya mendapati kekakuan, kekolotan, kebekuan, dalam memandang bahasa Indonesia. Dalam menyusun kalimat harus memenuhi kaidah tata bahasa dan beberapa frase asing dipadamkan. Argumen pendapat saya ialah dengan berbasiskan para pemikir founding fathers. Berikut saya kutipkan pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni yang menjadi hari lahir Pancasila (saya kutip sebagaimana aslinya): Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang jang hidup dengan ,,le desir d’etre ensemble” diatas daerah jang ketjil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Jogja, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia jang menurut geopolitik jang telah ditentukan oleh Allah s.w.t. tinggal dikesatuannja semua pulau-pulau Indonesia dari udjung Utara Sumatera sampai ke Irian ! Seluruhnja !, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada ,,le desir d’etre ensamble”, sudah terdjadi ,,Charaktergemeinschaft”!Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia djumlah orangnja adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 jang telah mendjadi satu, satu, sekali lagi satu ! (Tepuk tangan hebat). (Dewan Pertimbangan Agung, Tudjuh Bahan 2 Pokok Indoktrinasi: hlm.27). Tentu saja dengan adanya padanan dalam bahasa Indonesia, sedapat mungkin menggunakan bahasa Indonesia dalam lalu lintas harian berbahasa. Namun perlu kiranya untuk tidak membatasi, ataupun mensensor masuknya istilah asing baik dalam literasi maupun dalam komunikasi oral. Jangan sampai tata bahasa membekuk makna dan membuat bahasa menjadi dingin, kehilangan daya letup dan tidak hidup. Belum lama ini dalam salah satu tulisan yang saya buat ada masukan untuk merubah istilah asing menjadi bahasa Indonesia. Saya berpandangan bahwa untuk menjelaskan makna, mendekatkan pengertian, biarkan istilah asing itu tetap dipakai. Yang menurut hemat saya dibanding mempermasalahkan masalah teknis seperti itu lebih baik mari berbicara pada substansi tulisan. Ada juga hal yang mengusik pemikiran saya yakni perihal bahasa alay dan intensitas internet. Bahasa alay sendiri merupakan perpaduan antara simbol, huruf, dan angka. Biasanya digunakan untuk menyingkat tulisan. Menurut hemat saya penggunaan bahasa alay merupakan sebentuk kemunduran berintelektual dan berbahasa. Intelektual, karena dengan berbahasa kita dapat melihat dan menakar kadar intelektual dari seseorang. Penggunaan bahasa alay yang kerap terjadi akan berkorelasi pada bahasa penulisan dan melatih otak dengan program alay. Akibatnya ketika menuliskan ide secara utuh akan terjadi disharmoni. Segala sesuatu termekanisme karena biasa. Dan terbiasa berbahasa alay dapat mendegradasi kemampuan berbahasa. Permasalahan berikutnya ialah intensitas internet. Kemajuan teknologi dan komunikasi telah membuat sekian waktu dari manusia terkoneksi dengan internet. Dalam hal ini saya mendapati ini berpengaruh terhadap aspek bahasa. Internet merupakan medium yang menyajikan instan, singkat, cepat. Anda bisa verifikasi hal ini dari media jejaring sosial ataupun artikel-artikel yang bertebaran di dunia maya. Twitter dengan kicauannya yang maksimal 140 karakter, update status di facebook yang sekedar berita singkat, membaca tulisan di portal berita – aktivitas tersebut merupakan makanan keseharian bagi sejumlah orang Indonesia. Ada 50 juta orang Indonesia yang telah terkoneksi internet, dimana 40 juta orang pengguna facebook, 7 juta pengguna twitter, dan 6 juta pengguna blog. Sebuah ceruk besar yang dapat menjelaskan koneksi antara daya jangkau kata dengan internet. Kerap berinteraksi dengan internet berpotensi untuk mendangkalkan pemikiran. Mendangkalkan pemikiran termasuk dalam berkata-kata. Secara personal hal ini saya dapati pada beberapa penulis muda yang saya baca karya sastranya. Narasi, dialog yang disajikan menjadi lemah, letoi, tidak bertenaga. Asumsi akar sebabnya menurut hemat saya ialah terlampau kerapnya mereka berinteraksi dengan internet. Waktu yang berjam-jam di depan internet, berhadapan dengan lalu lintas internet yang cepat, singkat, dengan banyak kata yang tidak utuh membentuk bagaimana mereka berpikir dan berkata-kata. Disinilah menurut hemat saya diperlukan kebijaksanaan dari masing-masing personal untuk tidak tenggelam pada dunia maya. Ada efek negatif yang dapat ditimbulkan. Salah satunya ialah dengan pola pembentukan kata yang menjadi miskin. Sebagai penggemar karya-karya klasik, saya sendiri mendapatkan distingsi yang begitu kentara antara karya kontemporer dengan karya lawas. Menurut hemat saya karya-karya dari era yang telah berlalu memiliki kedalaman, kekayaan dan makna yang lebih mendalam dibandingkan karya era-era sekarang. Baik dalam karya sastra, dalam pemikiran, saya mendapati pada beberapa hal, karya era kontemporer hanya merupakan catatan kaki dan kalah kualitas dengan era yang telah berlalu. Di persimpangan waktu, kita perlu merenung. Tentang daya jangkau kata yang nyatanya terkoneksi dengan banyak lini. Daya jangkau kata ternyata menguak panel-panel sisi intelektual dan rasa skeptisme. Saya cukupkan dulu tulisan kali ini dan insya Allah akan saya sambung di lain kesempatan. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H