Lihat ke Halaman Asli

Idul Fitri yang Mencerdaskan

Diperbarui: 27 Juni 2017   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketupat lebaran berbungkus janur, siap hidang.

CERDAS, begitu ucap seorang sahabat asal Bekasi ketika berkesempatan Idul Fitri di Masjidil Haram saat umrah kemarin. Kata itu keluar dari proses pembandingan antara perayaan Idul Fitri di Arab Saudi yang datar-datar saja dengan di tanah air yang penuh dinamika.

Siapa yang cerdas..?  Yang cerdas adalah para leluhur kita yang membawa Islam dan menyebarkannya ke Jawa saat mayoritas penduduknya masih belum mengenal Islam. Kecerdasan itu menampak ketika mereka lebih memilih jalan damai dibanding jalan kekerasan seperti yang dilakukan para imperialis menyebarkan agamanya. Buah dari jalan damai itulah yang menjadikan mayoritas penduduk Jawa bisa menerima hidayah Allah, sehingga mereka sukarela ber-Islam.

Sahabat saya tadi mengira setelah shalat Ied ada acara makan bersama di Baitullah, seperti di masjid kampungnya. Ternyata tidak ada. Selesai khutbah, para jamaah saling bersalaman dan bubar begitu saja. Padahal dia ingin tahu, jenis hidangan khas lebaran Mekkah. Karena kalau di kampungnya selalu tersaji ketupat sayur, sebagai hidangan khas menu lebaran.

Saat itu dia baru sadar, bahwa ber-Islam itu tidak bisa lepas dari budaya dimana bumi dipijak, karena Islam ini untuk manusia yang “disengaja” Allah memiliki perbedaan di tiap belahan bumi, dalam aneka ragam perbedaan. Permasalahannya tinggal: apakah budaya itu bertentangan dengan Al Qur-an dan Sunnah Nabi atau tidak..? Adakah dalil yang melarang budaya makan bersama usai Shalat Ied. Jika tidak, berarti boleh.

Dari situ kita bisa melihat kecerdasan sosial para wali dan ulama leluhur kita dalam berdakwah. Terlebih ketika ketupat dipilih sebagai makanan iconic lebaran, bukan lontong. Meski karakter dan tekstur nasinya sama. Bedanya hanya di bahan pembungkus, yaitu janur dan daun pisang. Tapi justeru di janur itulah letak kekuatan dakwahnya. Dengan media daun kelapa itu, jelas sekali terlihat betapa para wali ingin menghapus resistensi ummat penduduk asli Jawa terhadap kehadiran Islam.

Perlu diketahui bahwa di setiap perayaan hari besar Hindu, pemeluknya selalu menandai dengan janur, baik yang diformat dalam bentuk-bentuk tertentu atau yang dipasang menjuntai begitu saja.  Di sinilah sesungguhnya maqsud al ‘adham  (tujuan utama) para wali dalam memanfaatkan janur, yaitu untuk mengatakan pada masyrakat Jawa saat itu, bahwa agama yang baru datang ini bukan lawan tapi kawan.

Maka, begitu mereka melihat saudara-saudara muslimnya ramai mencari janur jelang idul Fitri, mereka pun berfikir bahwa saudara-saudaranya itu “sama” dengan mereka sehingga merekapun mulai membuka diri untuk menerima kehadiran sang pendatang: Islam. Dari rasa “sama” itulah berawal pergaulan yang setara sehingga memungkinkan para wali / ulama mengenalkan nilai-nilai Islam dalam keseharian dengan damai.

Dalam momentum Idul Fitri ini, kiranya saat yang baik untuk bermuhasabah(mawas diri) apakah kita telah menggali potensi kecerdasan kita dalam ber-Islam dan mendakwahkannya. Sebab, sangat disayangkan bila kita lebih mengandalkan kekuatan fisik daripada kekuatan akal dalam keberagamaan. Karena hal itu akan menciptakan lawan bukan kawan.

Maka, mari kita jadikan idul fitri ini sebagai sarana silaturahim untuk memperbanyak kawan agar kita semakin bisa menumbuhkan kasih sayang antar sesama, dimanapun bumi kita pijak. Selamat hari Raya Idulfiti, semoga Allah menerima ibadah kita dan memepertemukan lagi dengan Ramadhan yang akan datang dalam keadaan segalanya lebih baik. Aamin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline