Judul : Kambing & Hujan
Penulis : Mahfud Ikhwan
Editor : Achmad Zaki
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan I : Mei 2015
Tebal : vi + 374 halaman
ISBN : 978-602-291-027-5
Di awali dengan drama cinta antara Mif dan Fauzia, saya sempat menyangka bahwa novel ini menceritakan kisah klasik ala Romeo Juliet. Lanjut membaca ke halaman berikutnya saya menemukan lapisan demi lapisan cerita yang dikupas perlahan, menarik sekaligus membuat penasaran. Ternyata novel ini tidak berkisah tentang cinta belaka. Kisah cinta antara Mif dan Fauzia yang diceritakan didepan seolah sebuah gerbang untuk menelusuri sejarah panjang nan rumit tentang masyarakat Tegal Centong, khususnya dalam hal beragama. Dan yang tak kalah menarik adalah kisah persahabatan Moek dan Is, tokoh yang mengambil peran penting dalam perkembangan agama Islam di tegal centong, sekaligus ayah dari Fauzia dan Mif.
Fauzia dan Mif bertemu pertama kali di dalam bus menuju Surabaya. Sama-sama tinggal di Tegal Centong, tidak membuat Fauzia langsung mengenali Mif. Fauzia baru mengingat Mif setelah dia mengenalkan nama dan alamatnya, juga identitasnya sebagai anak utara. Dari sana obrolan mulai mengalir hingga mereka bertukar alamat surel. Perkenalan mereka berlanjut ketika Mif mengirimkan surel yang meminta pendapat Fauzia tentang esai yang ditulisnya. Tanpa meminta persetujuan, Fauzia mengirimkan esai itu ke sebuah surat kabar dan akhirnya dimuat. Singkat cerita hubungan mereka berlanjut menjadi hubungan asmara hingga keduanya memutuskan untuk menikah dan harus meminta restu kepada orang tua masing-masing. Dari sanalah cerita sesungguhnya dimulai.
Mif dan Fauzia menyadari perjuangan mereka untuk meminta restu tidak akan mudah mengingat perbedaan yang ada di antara mereka. Mif adalah anak Centong Utara sedangkan Fauzia anak Centong Selatan. Orang Centong Selatan adalah penganut Islam tradisional, sedang orang Centong utara adalah penganut Islam pembaharu. Terlebih lagi karena orang tua mereka adalah tokoh yang disegani, yang berasal dari dua kubu yang berbeda tersebut. Keberanian mereka untuk meminta restu akhirnya mengungkap cerita sejarah panjang orang tua mereka yang tidak sekedar 'berbeda'.
Di masa kecilnya, Moek dan Is adalah sahabat yang kental. Mat sering mengikuti Is menggembalakan kambingnya. Merekapun punya tempat rahasia, bernama Gumuk Genjik, dimana mereka biasa menggembalakan kambing-kambingnya sambil berbincang akrab. Mereka mulai berpisah ketika Moek memutuskan untuk mondok, sedangkan Is yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, memutuskan untuk belajar agama secara otodidak melalui kitab-kitab yang dibelinya juga dengan gurunya Cak Ali. Jika pulang dari pondok Moek selalu menemui Is, mereka saling bertukar kabar dan perkembangan masing-masing, juga berdebat tentang berbagai permasalahan agama dengan pandangan mereka yang mulai berbeda.