Nama samaranku Putri. Aku lahir di Jakarta, 02 Maret 2004. Dengan ciri fisik tinggi, kulit kuning langsat, alis agak tebal dan cantik. Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Aku lahir dari keluarga menengah. Kalau bisa dibilang tidak kaya, dan tidak pula miskin. Aku dari lahir sudah mendapatkan pendidikan yang bagus dari orang tuaku. Seperti disiplin, berbuat baik sama orang, kalau waktunya sholat dan mengaji ia harus tau, dan lain - lainnya.
Orang tuaku berasal dari Padang. Namun, sudah merantau dan menetap di Jakarta kurang lebih 15 tahun. Kalau di rumah, aku ini dipanggil anak gadih Bahasa Minangnya, yang artinya anak perempuan. Sejak kecil, aku suka sekali dengan belajar. Entah kenapa menurutku, jika aku belajar otakku akan merasa lebih segar dan tenang. Hal ini bisa dijelaskan dalam ilmu ilmiahnya. Ketika seseorang sedang belajar, maka semua akan terfokus ke topik itu, dan tidak merasa terbebani memikirkan masalah yang telah terjadi.
Menurutku, ini terjadi karena sering melihat pengorbanan yang orang tuaku lakukan untuk menghidupi keluargaku. Rasa kelelahan dan pengharapan tampak pada perjuangan orang tuaku. Aku berpikir, bahwa aku harus menjadi anak yang ingin membalaskan semuanya itu. Walaupun jauh lebih kecil, jika dibandingkan perjuangan orang tuaku selama ini.
Selain itu, tekadku juga muncul karena aku sering melihat sepupu dari ayahku banyak orang kaya. Salah satu Pak Wo dalam Bahasa Padang, yang artinya paman, adalah mantan seorang Menteri Bappenas. Namun, sekarang telah menjadi direktur Bank Indonesia, dan Pak Wo satu lagi pernah menjadi Gubernur Riau, dan dosen Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Sehingga, sepupuku bisa merasakan hidup enak, seperti fasilitas yang lengkap, sekolah yang mahal, suka pergi ke luar negeri, dan apa yang sepupunya mau, bakal dituruti oleh pamannya.
Tapi, bagiku itu hanya sebuah khayalan, yang tidak bisa dirasakan olehnya. Aku tadinya merasa sedih. Namun, suatu ketika aku sedang diajak lari pagi bersama orang tuaku, tidak sengaja aku melihat seorang anak pemulung yang masih kecil umurnya yang sedang memungut sampah botol, lalu dimasukkan ke dalam karungnya.
Tampak, anak pemulung itu melakukannya dengan hati yang senang, tidak ada rasa mengeluh dan marah. Ketika aku menghampiri dan bertanya kepadanya sambil memberi sedekah sedikit yang aku punya. Lalu, anak pemulung itu bercerita bahwa ia putus sekolah karena kekurangan biaya. Selain itu, ia juga harus membantu ekonomi orang tuanya, cari makan pun harus kerja. Ucap kata anak pemulung itu.
Ternyata aku merasakan rasa bersalah pada dirikh bahwa masih ada anak yang kehidupannya berada di bawah dariku. Aku harus lebih bersyukur atas nikmat Allah SWT yang selama ini aku jalani. Dari situ, muncul semangat untuk tidak pantang menyerah. Aku mencari cara agar gimana caranya membanggakan orang tuaku, tanpa merepotkan orang tuaku. Dari situ juga keinginanku untuk mendirikan sekolah bermula.
Oleh karena itu, aku tidak mau menyerah sampai situ saja. Karena aku berpikir, bahwa banyak orang kaya yang berasal dari keluarga miskin. Asalkan terus berusaha dan rajin berdoa. Makanya aku terus rajin belajar, dan berprestasi, dan jika aku mengalami kegagalan, aku akan ingat tentang apa yang pernah aku mimpikan.
Suatu hari, ketika dia sedang duduk santai sambil belajar. Aku melihat pamanku ada di TV, yang menjadi narasumber pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Kalimantan pada waktu itu. Aku bercerita kepada ayahku, kalau suatu saat nanti, aku mau menjadi seperti pamanku, yakni menjadi orang sukses dan terkenal. Lalu, ayahku tiba - tiba bercerita, tentang perjuangan ayahku dan pamanku selama ini. "Itu semua, sudah jalannya Tuhan, Nak! Dulu, ayah dan pamanmu itu sama - sama berjualan ketika waktu bersekolah.
Cuman bedanya, pamanmu itu lebih berhasil dari ayah. Sebab, ayah dulu tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi, karena ayah ini sudah yatim piatu dari kecil. Ayah dan pamanmu itu, berbeda ibu satu bapak." ucap ayahnya sambil memberi nasihat, "Makanya Nak! Kelak suatu saat nanti kamu harus bisa sukses dari ayah, biar bisa banggain ayah dan ibumu, buatlah nama bangsa ini bangga nak!" kata ayah. Dari situ, tak terasa air mata ini sudah jatuh bercucuran melewati pipi. Begitu terharunya mendengarkan cerita itu.
Aku berjanji kepada diriku, kelak diriku akan mengabulkan doa keinginan orang tuaku, dan dari situlah aku mulai rajin belajar secara otodidak. Aku terus terang saja, selama ini aku jarang sekali mengikuti les kebanyakan pada anak umumnya. Sebab, mending duitnya bisa dikumpulin buat keperluan yang lain.