Lihat ke Halaman Asli

Kritik Kapitalisme dalam Anime Jepang, Hiburan dan Pesan Sosial yang Mendalam

Diperbarui: 5 November 2024   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

google.com

Anime Jepang telah menjadi media hiburan global yang memiliki pengaruh besar di seluruh dunia. Meski seringkali dikenal melalui karakter yang menarik atau jalan cerita yang penuh aksi, anime juga kerap kali mengangkat tema sosial dan politik yang mendalam. 

Salah satu tema yang sering muncul dalam anime adalah kritik terhadap kapitalisme, yang terlihat dalam berbagai seri populer. 

Melalui karakter, alur cerita, dan latar dunia distopia, anime Jepang mampu menyampaikan kritik tajam terhadap sistem ekonomi yang dianggap hanya menguntungkan segelintir orang, sekaligus mengeksploitasi banyak pihak.

Dalam anime seperti Akira, Attack on Titan, dan Neon Genesis Evangelion, kritik terhadap kapitalisme tidak selalu disampaikan secara langsung. Namun, melalui dunia yang hancur karena keserakahan manusia, tema tersebut tersirat dengan kuat. 

Akira (1988), karya klasik yang berlatar di masa depan dystopia Tokyo, menunjukkan dunia di mana eksploitasi, kontrol pemerintah, dan keserakahan menyebabkan kehancuran. Neo-Tokyo dalam Akira digambarkan sebagai kota yang dikuasai oleh konglomerat besar dan penuh kekerasan. 

Dunia ini menjadi refleksi terhadap ancaman kapitalisme yang tidak terkendali, di mana teknologi dan kekayaan digunakan oleh segelintir orang untuk menguasai masyarakat.

Sementara itu, Attack on Titan adalah contoh lain bagaimana anime mengkritik ketidakadilan yang terjadi dalam sistem ekonomi dan politik. 

Meski awalnya Attack on Titan tampak sebagai anime bertema aksi dan petualangan, semakin jauh cerita berkembang, tema-tema yang lebih dalam mengenai penindasan, ketidakadilan, dan kekuasaan mulai terungkap. 

Sistem kelas yang diperlihatkan dalam anime ini, di mana manusia dipisahkan oleh tembok-tembok besar dan dijaga ketat oleh kekuasaan, menjadi alegori terhadap ketimpangan sosial yang terjadi dalam kapitalisme. 

Di dunia nyata, tembok tersebut bisa diartikan sebagai batas-batas kelas sosial dan ekonomi yang sukar ditembus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline