Dewiana Namaku
Sebut namaku Dewiana. Aku anak ragil di keluarga. Ketiga kakak perempuanku sudah menikah dan punya anak. Bapak dan ibuku adalah pensiunan guru PNS di Departemen Agama waktu itu.
Alhamdulillah, pekerjaanku sudah mapan. Alhamdulillah kebetulan aku sudah diangkat menjadi PNS melalui pemberkasan data base saat itu. Aku diangkat menjadi seorang guru di sebuah Sekolah Dasar.
Aku seorang wanita yang menikah di usia 37 (tiga puluh tujuh). Telat, begitu pasti orang menilaiku.
Pertanyaan demi pertanyaan pasti sampai di telingaku saat aku belum menikah. Kapan aku menikah. Menikahlah, keburu tua. Nanti tak bisa punya anak. Dan seterusnya, dan seterusnya.
“Gek nikah, gek ben duwe anak ra ketang siji..”.
Itu salah satu komentar orang kepadaku. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Tak bisa digambarkan lagi.
Ah, mereka tak mengerti bagaimana usahaku. Tapi Allah berkata lain. Memang belum ada jodoh untukku sampai usia itu. Aku tak bisa protes kan kepada Allah? Toh, siapapun yang bertanya apapun, juga bukan Tuhan yang dapat menentukan kapan aku menikah.
“Lelaki itu mikir-mikir untuk menikahimu, bu..”, kata pak Wanto, salah satu guru di tempatku.
Biasanya aku dan teman-teman cerita ke beliau, yang kami anggap sesepuh kami.
“Takut. Soalnya mereka takut tidak bisa menghidupi sampeyan..”, lanjutnya.