Saya merasakan masa kecil di sebuah dusun yang sejak dahulu asri. Bagaimana tidak asri, rumahnya "mewah". Mepet sawah. Dekat persawahan, sungai dan mbaon kayu putih. Saat itu sekitar tahun 1984-1986an.
Di dalam keluarga kami, waktu itu sudah ada televisi hitam putih. Tentu saja dihidupkan atau dinyalakan harus dengan aki. Dan ada jek-jekan seingat saya. Dan ketika air aki habis, maka matilah televisinya. Tidak bisa dinyalakan.
Aki harus di"strom"kan. Entahlah, saya tidak begitu tahu istilah itu saat itu. Mungkin ya diisi ulang kalau jaman sekarang.
Saya juga tidak begitu ingat ukuran akinya. Dan bagaimana memasang jek agar bisa nyambung ke televisi. Ya maklum, saat itu saya masih kecil. Hanya terngiang-ngiang, ingat ada televisi hitam putih dan aki. Selebihnya tidak ingat.
O iya, di televisi itu terdapat tombol-tombol unik yang untuk anak jaman sekarang mungkin terasa aneh. Ada juga bagian speaker yang unik. Layar televisi berada di tengah-tengah antara speaker-speaker kecil. Jadi bagi yang suka barang antik ya memang antik bentuknya.
Nah, untuk menyalakan televisi agar mendapat gambar yang bagus tentu harus ada antena. Antena ini harus dipasang di ketinggian. Kalau jaman dulu memakai "pring" atau bambu.
Sekarang televisi antik itu masih ada di rumah, tetapi tidak begitu terawat dengan baik. Sedangkan aki, kami sudah tidak menyimpannya lagi.
***
Televisi antik yang kami miliki tersebut, di masa sudah ada listrik, pernah dicoba dimodifikasi dengan mempergunakan listrik untuk menyalakan televisi tersebut. Tetapi, tetap tidak sama dengan televisi jaman now.
Gambar tentu saja hitam putih. Tidak begitu jernih. Bahkan "kepyur", penuh dengan semut. Hehe.