Orang itu pandai menilai orang lain. Tepatnya lebih pandai menilai orang lain. Dan orang tidak akan dapat menilai diri sendiri dengan sebaik menilai orang lain.
Menilai dari belakang itu sering dapat didengar dan dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Segala omongan akan keluar dari mulut ketika sekumpulan orang berkumpul.
Omongan-omongan, baik itu omongan positif maupun negatif keluar dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Apakah "penilai-penilai" itu tahu keadaan yang sebenarnya?
Tentu saja belum tentu tahu. Yang mereka lakukan hanyalah bualan-bualan saja. Tanpa ingin tahu perasaan "orang yang dinilai". Nah, bagaimana perasaan "orang yang dinilai"?
Omongan-omongan yang positif, tentu saja menjadi penyemangat bagi "orang yang dinilai". Dia pasti akan merasa di"wongke". Dan dia akan berterimakasih akan hal itu. Tentu saja dia akan jauh lebih bersemangat untuk menunjukkan kebaikan-kebaikannya.
Sementara omongan-omongan yang buruk atau negatif tentu bisa membuat "down". Dia akan menjadi merasa tidak dihargai dan tidak dipedulikan. Akan tetapi bisa saja "orang yang dinilai" itu tidak mempedulikannya. Meski itu akan tetap menjadi beban tersendiri baginya.
"Rasan-rasan" atau ghibah atau omongan negatif di belakang, jika dapat diolah akan membuat orang yang dinilai menjadi kuat. Kuat dalam mentalnya. Dan dia akan lebih dapat menghargai orang lain. Karena dia tahu bagaimana rasanya jadi korban "rasan-rasan".
Nah jika menjadi korbannya, tanamkan kuat-kuat dalam hati, "aku tidak seperti rasan-rasan mereka. Aku sudah berusaha berbuat baik. Aku sudah berusaha tidak ikut campur urusan orang itu. Mereka tidak tahu yang sebenarnya". Dan sebagainya.
Kalau bisa dekati orang-orang itu dan katakan, "ghibahmu, semangatku". Ya, semangat agar jauh lebih baik daripada si "penilai-penilai" itu. Atau jika tidak dikatakan langsung, cukup katakan itu pada diri sendiri. "Ghibahmu, semangatku". Lalu lakukan yang terbaik, baik menurut tuntunan-Nya maupun nilai-nilai Pancasila.
#terinspirasi dari video ucup klaten