Hukum Islam pada periode Rasulullah SAW didominasi oleh proses turunnya wahyu (al-qur’an) dan pembentukan sunnah yang pada dekade berikutnya menjadi sumber transendetal bagi perkembangan syariah. Dalam pembahasan hukum islam pada periode ini, penulis sistematikan dalam beberapa sub bab penting diantaranya: proses pembinaan hukum islam pada periode Rasulullah SAW yang diklasifikasikan menjadi hukum islam dalam periode mekkah yang merepresentasikan rekonstruksi aqidah dan hukum islam pada periode madinah yang merupakan representasi rekonstruksi sosial, pemegang otoritas hukum islam pada periode Rasulullah SAW, sistematika, sumber dan metode hukum islam pada masa Rasullulah SAW.
- Proses pembinaan hukum islam pada periode Rasulullah SAW
Tonggak perjalanan sejarah hukum Islam yang dianggap sebagai prototipe yang ideal dalam proses penanaman hukum islam adalah era dimana Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Nabi dan Rasul terakhir (khatam al-anbiya wal mursalin). Periode inilah yang disebut sebagai era rasulullah atau era kenabian, periode ini berlangsung kurang lebih 22 tahun 5 bulan 13 hari. Ini memberikan pengaruh yang sangat penting terhadap pembentukan syariah pada periode-periode sesudahnya. Pada periode ini menghasilkan berbagai ketetapan hukum yang tertuang dalam al-qur’an maupun al-sunnah. Boleh dikatakan bahwa sebenarnya periode ini telah mewariskan dasar-dasar pembentukan hukum yang sempurna.
Menurut beberapa pakar sejarah, periode ini dapat diklasifikasikan dalam dua fase: fase mekkah dan fase madinah. Fase mekkah (tasyri’ Makkiy) berlangsung selama kurang lebih 12 tahun 5 bulan 13 hari terhitung mulai beliau diangkat menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke madinah. Pada saat itulah untuk pertama kalinya Rasulullah SAW mendeklarasikan agama islam menyeru ketauhidan, bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa tiada sekutu baginya.
Pada periode ini, umat islam masih sangat terisolir dan belum mampu membentuk pemerintahan yang kuat karena pada fase mekkah ini Rasulullah SAW berfokus pada rekonstruksi aqidah. Selain itu, Rasul juga disibukan dengan upaya penundukkan corak budaya sukuisme dan sikap fanatik primordial yang kental yang mewarnai kehidupan sosial penduduk mekkah. Kesibukan ini berlanjut pada upaya pembentengan umat islam dari intimidasi dan serangan kaum kafir quraisy.
Fase kedua adalah fase madinah (tasyri’ Madaniy) yang berlangsung selama 10 tahun lebih beberapa hari, terhitung sejak Rasulullah SAW beserta pengikutnya hijrah ke madinah (awal bulan rabiul awal). Periode madinah dengan berfokus pada penekanan dakwah pada bidang hukum dan jihad. Pemerintahan islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW mulai terbangun secara berangsur-angsur melalui media-media dakwah. Inilah yang menjadi faktor pendorong proses dan pembentukan hukum islam. Lahirnya piagam madinah menjadi salah satu bukti autentik bahwa negara madinah memiliki dua karakter sekaligus yakni karakter keagamaan maupun karakter kenegaraan, dari sinilah pada akhirnya sistem teokrasi islam menyebar keseluruh penjuru arab dan merambat ke wilayah daratan Asia barat dan Afrika Utara (al-Nuwairi,tt;374)
- Pemegang otoritas hukum islam pada periode Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW memiliki tanggung jawab penuh dan hak prerogratif (privilege) untuk memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan manusia di muka bumi sesuai kapasitasnya sebagai Rasul yang diberi mandat. Tidak ada seorangpun yang berhak mendahului Nabi dalam merealisasikan tugas dan mandat ilahi sesuai dengan Q.S. Al-Maidah ayat 67 dan Q.S. Al-Nahl ayat 44.
Ketika Rasulullah SAW telah menetapkan status hukum atau suatu kasus atau masalah hukum, maka tidak seorang pun di antara para sahabat yang berhak untuk mengganti atau merubahnya. Sumber kekuasaan hukum islam pada periode ini berada ditangan Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu, tidak ada seorang sahabat punya melakukan ijtihad fardi baik berkaitan dengan hukum yang menyangkut dirinya sendiri mau apalagi orang lain. Semua persoalan baru yang muncul saat itu akan segera dikonfirmasi kepada Nabi Muhammad SAW sehingga tidak ada seorang sahabat yang berani berfatwah dengan hasil ijtihad yang sendiri atau menjatuhkan vonis terhadap suatu sengketa yang terjadi.
Jika para sahabat menghadapi suatu persoalan, persengketaan, atau terlintas suatu pernyataan mereka akan langsung menanyakannya kepada nabi selanjutnya beliau akan memberikan fatwa secara langsung atau tidak langsung. Setiap fatwa dan hukum yang bersumber dari nabi secara otomatis menjadi hukum yang dipatuhi oleh para sahabat. Seiring dengan berjalannya waktu Nabi Muhammad SAW mulai melakukan kaderisasi kepada para sahabat baik sebagai tindakan antisipatif maupun dalam rangka ekspansi wilayah Islam.
- Metode dan Sistematika serta sumber hukum islam pada periode Rasulullah SAW
Dalam menyelesaikan berbagai problematika yang muncul di tengah umat muslim pada saat itu, ada tiga metode yang digunakan Rasul:
Metode pertama, penentuan hukum bersumber pada wahyu ilahi (al-wahyu al-mathu) tidak ada keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW tanpa pedoman wahyu, tidak pula memutuskan hukum dengan semena-mena menurut hawa nafsu. Rasulullah SAW baru berinisiatif untuk mengambil keputusan hukum dengan metode lain apabila nyata-nyata tidak ada wahyu yang diturunkan kepadanya yang membahas perssoalan tersebut.
Metode yang kedua yang digunakan dalam proses penentuan hukum adalah Ilham (al-wahyu ghairu al-matlu) metode ini diaplikasikan jika ternyata wahyu al-mathu (Alquran) tidak juga kunjung turun. Ilham yang dimaksud di sini adalah wahyu Allah yang redaksi kalimatnya tidak diterjemahkan dalam redaksi kalimat oleh Jibril, melainkan terjemahan oleh Rasulullah SAW baik berupa perkataan perbuatan maupun ketetapan yang dikemudian hari disebut dengan sunnah/hadits Nabawi (Khallaf, 1987)