Jabatan fungsional pegawai negeri di negara kita rumit. Ini yang bertahun-tahun terkesan 'terbiarkan'. Senyampang nuansa 'harapan baru' dari Kabinet Kerja Jokowi-JK dimana Menteri PAN masih baru, ada baiknya diwacanakan ulang.
Dari pengertiannya, jabatan fungsional menurut Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Ada beberapa masalah yang menggelitik terkait implementasi jabatan fungsional (jabfung)
1. Rebutan jadi Pembina Jabfung. Kementerian dan lembaga terkesan berebut jadi pembina jabfung tertentu. Jabfung jenis ini, misalnya Jabfung Peneliti. Pembinanya adalah LIPI. Pertanyaannya mengapa peneliti di kementerian dan lembaga (K/L) lainnya harus dibina oleh LIPI? Mengapa tidak Kemenristek? Pertanyaan yang sama terhadap Jabfung Pranata Komputer, mengapa pembinanya Badan Pusat Statistik (BPS), padahal ada kementerian yang lebih kompeten, yaitu Kemkominfo. Lalu mengapa ada jabfung widyaiswara (pembinanya LAN), padahal sudah ada jabatan fungsional dosen dan guru (pembinanya Kemendiknas). Mengapa pula ada jabfung instruktur (Kemenakertrans) padahal sudah ada jabfung widyaiswara. Atau, mengapa tidak diserahkan saja pembinaannya secara 'full' kepada masing-masing kementerian atau lembaga?
Rasanya pantas untuk mempertanyakan masalah ini dengan mengacu pada premis dasarnya yaitu bahwa tugas, fungsi, tanggung jawab dan hak seorang pejabat fungsional adalah bersifat spesifik sesuai dengan misi masing-masing kementerian/lembaga (K/L). Menjadi wajar bila kemudian K/L berlomba-lomba mengkreasikan jabatan fungsional baru. Mengkreasikan jabfung yang spesifik dapat melancarkan tugas dan fungsi organisasinya, dan pembinaannya yang langsung ditangani oleh masing-masing K/L, dan untuk memperpendek rantai birokrasi pembinaan PNS-nya. Misalnya jabfung yang terkait penelitian, awalnya hanya ada Jabfung Peneliti yang dibina LIPI. Namun berbagai kerumitan dan rantai panjang birokrasi untuk menjadi peneliti dengan berbagai persyaratannya, K/L lainnya memunculkan jabfung yang tugasnya mirip Jabfung Peneliti tapi lebih spesifik penelitian yang mengarah pada tugas dan fungsi sesuai organisasinya, seperti Perekayasa (BPPT), Jabfung Penyelidik Bumi dan Jabfung Pengamat Gunung Api (Kementerian ESDM), dan Surveyor Pemetaan (Bakosurtanal). Yang terkait pendidikan dan pengajaran, awalnya ada Jabfung Dosen dan Jabfung Guru (dulu Depdiknas, sekarang dipecah jadi dua kementerian), kemudian muncul yang sejenis, seperti: Jabfung Widyaiswara (LAN), dan Jabfung Instruktur (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).
Bila mengacu pada premis bahwa adanya suatu kementerian atau lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang spesifik dengan basis ilmu yang multidisiplin, dan mengacu pula pada jabfung yang saat ini sudah ada (berjumlah 133), maka kedepan bisa saja akan ada tambahan lebih banyak lagi jabatan fungsional baru. Di Kementerian Pertahanan, mungkin akan ada Jabfung Guru Militer/Jabfung Instruktur Bela Negara, Jabfung Pranata Bela Negara, Jabfung Pengkaji dan Peneliti Pertahanan Negara, Jabfung Analis Politik dan Pertahanan negara, Jabfung Auditor Pertahanan Negara, Jabfung Arsiparis dan Informasi Pertahanan Negara, Jabfung Kodifikasi, Jabfung Pertahanan Siber, dll. Sedangkan di Kepolisian, misalnya Jabfung auditor kepolisian dan Jabfung Pranata Keamanan Siber. Di Kemkominfo, misalnya Jabfung Pranata Internet dan Jabfung Pranata Telekomunikasi. Di Kementerian Pariwisata, misalnya Jabfung Pranata Pariwisata dan Jabfung Pemasar Pariwisata. Dengan kata lain, setiap kementerian atau lembaga akan memiliki dan menjadi pembina dari jabatan fungsional yang dikreasikan berbasis tugas dan fungsi organisasinya yang spesifik dan berbasis multidiplin ilmu.
2. Rumpun jabatan fungsional . Sepertinya rumpun ini harus diteliti ulang untuk digunakan sebagai kategorisasi jabatan fungsional. Misalnya rumpun matematika, statistika dan yang berkaitan (multidisiplin????), yang menjadi rumpun dari Jabfung Peneliti (LIPI); Perekayasa (BPPT); Pranata Nuklir (BATAN); Pengamat Gunung Api dan Penyelidik Bumi (ESDM); Teknik Elektromedis (Kemenkes). Juga misalnya rumpun dari Jabfung Teknik Jalan dan Jembatan; Teknik Pengairan; Teknik Penyehatan Lingkungan; dan Teknik Tata Bangunan dan Perumahan (Kementerian PU). Ketika semuanya bersifat multidisiplin, kategorisasi rumpun seperti itu menjadi kabur.
Bila dikaji lebih jauh, rumpun jabatan ini akan terkait erat dengan jabatan fungsional sesuai premis dasar tersebut diatas, yaitu bahwa jabatan fungsional adalah gambaran dari tugas dan fungsi yang spesifik dari organisasi kementerian dan lembaga. Jadi bisa diwacanakan atau diteliti lagi misalnya Jabfung Teknik Jalan dan Jembatan, Teknik Pengairan, Teknik Penyehatan Lingkungan, dan Teknik Tata Bangunan dan Perumahan untuk diusulkan masuk ke Rumpun Jabfung Pekerjaan Umum. Atau mungkin saja tidak perlu kategorisasi rumpun?
3. Jabatan Fungsional Umum. Mereka yang karena berbagai alasan birokrasi tidak dapat menduduki jabfung tertentu yang sudah ada, dapat dimasukkan pada jabfung umum ini. Jadi jabfung umum adalah kategori 'tong sampah'. Mengapa harus ada jabatan fungsional semacam ini? secara sederhana CPNS/PNS baru biasanya diangkat ke dalam jabatan ini. Karena untuk didudukkan ke dalam jabatan fungsional tertentu, harus memenuhi hal-hal yang dipersyaratkan. Pertanyaannya mengapa mereka tidak dapat langsung ditempatkan pada jabatan fungsional tertentu?
Atau hapuskan saja nomenklatur jabfung umum ini karena dapat berdampak 'mengganggu' pada jabatan fungsional tertentu. Atau ubah nomenklaturnya menjadi 'jabatan umum' saja (bukan struktural dan bukan jabfung tertentu).
4. Jabatan Fungsional dan Ketersediaan Formasi. Jabatan fungsional terkait sekali dengan ketersediaan formasi dalam organisasi. Jangan harapkan seorang pejabat fungsional golongan pangkat III/b dapat naik ke golongan III/c bila tidak ada formasi untuk jabfung dengan golongan pangkat tersebut dalam organisasinya. Untuk naik, mereka harus mengajukan pindah organisasi. Ini juga sulit. Birokratis. Tidak bisa otomatis. Ini hanya menunjukkan bahwa jabfung yang ada saat ini memiliki persyaratan birokratis yang seringkali kompleks dan menyulitkan, lagi misalnya, syarat untuk menjadi Peneliti harus didaftarkan ke LIPI dan harus mengikuti kursus yang diadakan oleh LIPI. Mengapa harus ke LIPI, mengapa tidak langsung ke BKN saja, dan mengapa kursusnya tidak di UI saja atau ITB atau perguruan tinggi lainnya. Bukankah ada beberapa jabfung yang sudah diselenggarakan di perguruan tinggi seperti misalnya Jabfung Perencana. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa membuat persyaratan 'intake' jabfung yang rumit, bukankah setelah proses rekruit CPNS/PNS memang seharusnya dibina ke dalam jabatan fungsional/struktural oleh masing-masing K/L. Atau memang intake CPNS untuk jabfung seperti peneliti sebaiknya dilakukan oleh LIPI saja dan K/L tinggal 'terima bersih' dari LIPI, intake CPNS untuk formasi perekayasa dilakukan oleh BPPT, dan K/L cukup 'terima bersih' juga.