Lihat ke Halaman Asli

Zahratul Wahyu Ningsih

Mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Good Governance: Manifestasi Cita-cita Bangsa atau Hanya Konsep Belaka?

Diperbarui: 13 Desember 2023   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://ilmu.lpkn.id

Good Governance, Manifestasi cita-cita bangsa atau hanya konsep belaka?

Taschereau & Campos dalam Thoha (2003:63) mengatakan bahwa tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen yakni pemerintahan (government), rakyat (citizen), dan civil society, dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat, jika kesamaan derajat itu tidak sebanding, atau tidak terbukti, maka akan terjadi pembiasan dari pengelolaan pemerintahan.

Adapun beberapa indikator untuk mencapai good governance ini sendiri banyak dikemukakann oleh para ahli dan lembaga-lembaga, salah satunya dalam buku Harbani Pasolong pada tahun 2019 dengan judul “Teori Administrasi Publik” mengungkapkan bahwa ada setidaknya 9 indikator atau prinsip tercapainya good governance ini menurut UNDP (United Nations Development Programme) diantaranya : 1) Partisipasi masyarakat, 2) Tegaknya supremasi hukum, 3) Transparansi, 4) Daya tanggap, 5) Berorientasi pada konsensus, 6) Berkeadilan, 7) Efektivitas dan efisiensi, 8) Akuntabilitas, 9) Visi Strategis.

Ada beberapa prinsip yang menjadi sorotan dalam tulisan ini yakni partisipasi masyarakat, berkeadilan, dan transparansi yang banyak sekali menjadi isu perbincangan saat ini dan menjadi isu dalam debat capres 2024, ini menjadi pertanyaan apakah negara Indonesia ini sudah benar-benar menerapkan konsep good governance? atau hanya sebuah formalitas konsep belaka?. Pasalnya banyak kasus di Indonesia pembungkaman aspirasi, diskriminasi kalangan menengah untuk mendapat pelayanan, bahkan yang menyampaikan aspirasi ditahan dan ditindak pidanai. Katanya butuh pasrtisipasi masyarakat? Namun kenapa ketika masyarakat beraspirasi kemudian dibungkam?

Beberapa kasusnya seperti yang dikutip dari berita https://nasional.kompas.com dengan judul “Upaya Pembungkaman Aspirasi dalam 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf, Mural Dihapus hingga Pembentang Poster Ditangkap”, yang mana selama dua tahun awal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf banyak permasalahan-permasalahan dalam pemerintahan sehingga membuat mahasiswa hingga masyarakat awam pun menyampaikan aspirasi mereka entah itu menggunakan sosial media, poster, atau bahkan mural-mural yang digambar di tembok-tembok pinggir jalan. Namun tak jarang justru kritik yang disampaikan masyarakat justru terkesan dibungkam. Bahkan kettika mahasiswa menyampaikan aspirasinya untuk kemajuan bangsa malah dicegat oleh aparat kepolisian dan sebelum membentangkan spanduk yang berisi aspirasi para mahasiswa sudah diantisipasi oleh kepolisian, tak sampai disitu polisi juga melakukan sweeping depan kampus UNS dan menggeledah tas sejumlah mahasiswa UNS. Padahal dalam tulisan dan poster tersebut tidak ada unsur untuk menghina Presiden Jokowi, namun seolah dibungkam begitu saja.

Kemudian kasus yang kedua dikutip dari https://www.cnnindonesia.com dengan judul ”Suap Bupati Jombang Cermin buruknya Transparansi di Daerah”, yang mana di dalam kasus ini diungkap bahwa Bupati Jombang menerima suap yang memanfaatkan dana perizinan dan jasa pelayanan kesehatan atau dana kapitasi pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) divisi monitoring Pelayanan Publik, mengaku tidak terkejut dengan kasus tersebut. Dia mengatakan, transparansi dana operasional kesehatan di daerah memang telah sejak lama menjadi persoalan. Publik yang selama ini tidak mengetahui bagaimana dana itu dikelola oleh pemerintah daerah karena tidak melibatkan masyarakat dalam pengelolaan anggaran sehingga anggaran tersebut rawan dikorupsi karena kurangnya melibatkan masyarakat.

Selanjutnya kasus ketiga dikutip dari https://www.bbc.com dengan judul “Tindakan nakes 'bedakan pasien BPJS' dikecam publik, 'sangat tidak pantas' - Pegiat: 'Itu bentuk kecurangan dan paling banyak terjadi di rumah sakit’ ” kasus ketidakadilan pemberian pelayanan ini seringkali terjadi dan menurut Catatan lembaga advokasi BPJS Watch sepanjang 2022 terdapat 109 kasus diskriminasi yang dialami pasien BPJS terkait pemberian obat, re-admisi, dan kepesertaan yang dinonaktifkan. Diskriminatif pelayanan yang diberikan antara pasien BPJS dan umum sangat sering terjadi, kasus ketidakadilan ini sudah seharusnya menjadi perhatian bagi masyarakat untuk mencapai good governance yang salah satu prinsipnya adalah berkeadilan.

Adapun beberapa solusi untuk permasalahan-permasalahan ini agar Indonesia dapat mencapai yang sebenar-benarnya good governance adalah :

1. Pemerintah aktif mengajak masyarakat untuk musrenbang di berbagai tingkatan, agar partisipasi masyarakat aktif dan terpenuhi.

2. Memberikan sanksi kepada pemerintah pusat maupun daerah atau instansi-instansi yang tidak memberikan transparansi kepada publik melalui beberapa media yang telah diberikan.

3. Memberikan aplikasi atau website untuk masyarakat bisa mengeluhkan apa saja yang terjadi dan dikeluhkan atas berjalannya pelayanan publik yang tidak sesuai. Contohnya seperti SP4N LAPOR! Namun sepertinya website ini belum berjalan dengan maksimal, perlu evaluasi lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline