Lihat ke Halaman Asli

Di Bawah Mendung Langit Menganti

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Bawah Mendung Langit Menganti

Dear Januar...

Kau jahat. Jahat sekali. Apa yang kau inginkan sebenarnya?

Jalan pikirmu sungguh rumit. Berkelok-kelok. Tak tentu mana pangkal, mana ujung.

Selama ini, kupikir aku mengerti semua tentangmu, kecuali yang tersembunyi di dasar hatimu. Tapi, nyatanya aku salah. Hanya satu hal yang kutahu. Kau jahat. Jahat sekali.

Kau membuatku berdiri di antara perasaan yang aku sendiri belum memahaminya dengan baik. Membuatku berdiri di antara kau dan dia. Itu semua kau yang menyebabkannya. Kau yang menarikku hingga titik ini. Titik tertinggi dan paling menyakitkan sepanjang yang pernah kurasakan.

Kau jahat. Jahat sekali.

Kau membuat semuanya terperangkap dalam satu kata bernama terlanjur. Semuanya terlanjur rumit. Kesalah pahaman itu terlanjur berkembang besar. Besar dan semakin membesar. Kau tahu? Kau tak hanya melukaiku saja. Atau hanya melukai dirimu saja. Tapi, kau juga melukai dia dan mereka. Kau melukai sangat banyak.

Sekarang, harus bagaimana? Apa yang akan kau lakukan? Bagaimana kau akan menyelesaikan cerita yang alurnya sudah bagai benang kusut ini?

Kau tahu? Jika kau menemui benang kusut, cara terbaik untuk meluruskannya adalah dengan memotong bagian kusutnya. Lalu, bagian kusut mana yang akan kau buang?

Apakah itu aku? Dia? Atau kami berdua?

Kau jahat. Jahat sekali.

Aku gulung kertas putih yang di dalamnya sudah ada goresan-goresan hitam penaku. Kumasukkan dalam botol, dan kubiarkan gulungan-gulungan ombak yang berdebur membawanya pergi. Hanyut, jauh ke ujung laut sana. Semoga. Semoga rasa sakitku juga ikut mengiringi kepergiannya. Karena aku lelah. Sangat lelah menyimpan semua ini sendiri. Dan orang itu, orang yang namanya kusebut dalam suratku tadi, orang yang namanya sekalipun tidak pernah tanggal dari ingatanku. Dia tidak pernah tahu seberapa banyak rasa sakit yang kusimpan. Dia hanya tahu rasa sakitnya. Dan dia, memilih tenggelam bersama kesakitannya sendiri. Tanpa pernah menyadari, jika sikapnya telah menyakiti banyak orang.

Hhh...

Kudesahkan nafas panjang ke awang-awang. Menatap hamparan langit luas yang membahana. Aku beranjak. Kutenteng sepatu putihku. Berjalan, membiarkan ujung-ujung saraf peraba di kakiku merasakan pasir-pasir putih yang menelisik di sela-sela jemari. Setangah halus setengah kasar. Sudah seminggu belakangan aku tidak pernah absen mengunjungi pantai ini. Mungkin memang hanya pantai pasir putih lokal Kabupaten Kebumen. Pantai Menganti. Pengunjungnya juga tidak banyak. Tapi aku selalu suka tempat ini.

Di pinggir-pinggir pantai ada sederet perahu sederhana yang biasa digunakan para nelayan untuk berlayar. Juga ada beberapa warung kopi yang bertengger gagah, agak jauh dari pantai. Dan di sekitar laut sana, ada begitu banyak batu yang ukurannya melebihi normal. Aku juga suka, sekedar berdiri atau duduk di atas batu besar itu. Iseng melihat hewan laut yang mungkin tersesat di antara bebatuan. Dan yang paling kusuka dari tempat ini adalah tempat mirip tebing di ujung sana.

@_@

Ya. Aku selalu suka gundukan pasir besar yang sedang kudaki ini. Senang sekali rasanya bisa berdiri di sini. Mengagumi keagungan Tuhan dari atas. Wow! Pemandangan yang menakjubkan. Yang selalu kulakukan di sini, sederhana saja. Hanya melempar kerikil kecil. Dan yang juga selalu kulakukan selama seminggu terakhir di sini adalah berteriak. Berteriak sekeras yang kumampu, sebanyak yang kumau. Melepaskan segala emosi yang membebani diri. Berharap bisa runtuhkan gelisah yang menyiksa hati. Di sini, aku tidak akan malu meski berteriak seperti orang gila. Tidak banyak yang sudi naik sampai di puncak. Kalaupun ada, biasanya hanya sepasang atau dua pasang kekasih.

Tentu saja aku tak perlu malu pada mereka. Terserah mereka menganggapku gila atau bagaimana. Toh, mereka bahkan jauh lebih gila dariku. Bergandengan tangan, berpelukan, padahal belum pernah berjanji di depan penghulu. Aku tidak asal bicara. Aku sering melihat dan pernah tidak sengaja mendengar perbincangan mereka. Bagaimana hubungan mereka selanjutnya, dan bagaimana pulalah dengan orang tua mereka yang tidak kunjung memberi restu. Masalahnya sederhana sekali. Tinggal dibicarakan dengan orang tua, selesai semua urusan. Beda sekali denganku.

Aku ingin bicara. Tapi pada siapa? Tidak ada yang mendengarku. Dan kalaupun ada, tidak ada yang bisa dilakukan. Mungkin memang harus seperti ini. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya berteriak. Sayangnya, berteriak itu hanya pelampiasan sementara. Sebentar setelah itu beban-beban juga pasti kembali menggunung. Melelahkan.

Hhh...

Lagi-lagi aku mendesahkan nafas panjang ke angkasa. Aku duduk meluruskan kaki di atas hamparan pasir putih. Kembali melempar kerikil kecil. Mendongak sejenak ke angkasa. Mendung.

“Aku suka hujan. Suka sekali.” Kata Januar hari itu.

“Mengapa?”

“Iya. Mengapa ya? Aku juga tidak tahu. Hanya berpikir jika hujan itu selalu mendamaikan dan penuh cinta.”

“Benarkah?”

“Ya, kurasa begitu. Tapi, hidup terkadang memberikan pada kita sesuatu yang tidak kita inginkan.”

“Contohnya?”

“Aku suka hujan. Berharap hujan akan turun hari ini. Tapi, Tuhan nyatanya sedang tidak ingin menurunkan hujan. Hanya mendung saja. Tuhan memberiku mendung itu sebagai pengganti hujan.”

“Hanya? Mendung itu indah. Kau tahu? Mendung adalah batas antara hujan dengan panas cahaya mentari. Mendung-lah yang membuat kedua hal itu bertemu. Dan mendung adalah sebuah proses untuk mengawali terjadinya hujan.” Aku coba memberi pengertian berbeda mengenai mendung kepadanya. Dia hanya mngangguk. Tersenyum, dan melanjutkan ucapannya dengan sebuah kalimat yang jujur saja terasa ganjil di telingaku.

“Ya. Kau benar. Mendung memang seindah itu. Tapi, biar bagaimanapun mendung tetap saja bukan hujan.”

Memang salahku. Aku yang tidak peka terhadap apa-apa yang dikatakannya. Aku yang bodoh. Sebelum menikah denganku, Januar jelas-jelas mengatakan jika yang disukainya adalah hujan. Dia tidak suka mendung. Meski dia berusaha menerima dengan sebaik-baik yang bisa dia lakukan. Bodoh! Padahal, usiaku saat itu seharusnya sudah cukup dewasa untuk bisa memahami hakikat cinta yang sesungguhnya.

“Dasar Kania bodoh!” teriakku pada jiwaku sendiri.

Kebanyakan orang menyesal atas sesuatu yang tidak mereka lakukan. Tapi aku tidak. Aku menyesal atas apa yang telah kulakukan. Hatiku selalu bertanya. Mengapa aku tidak pernah peka terhadap kata-katanya? Mengapa aku tidak menyadari bahwa hujan yang dia maksud adalah Rania, adikku sendiri. Mengapa aku tidak sadar? Mengapa aku tidak juga mengerti bahwa mendung yang tidak dia inginkan tetapi dia terima itu adalah aku?

“Bodoh! Kania bodoh!” teriakku lagi.

Aku mulai menangis tertahan. Pernikahanku dengan Januar sudah lima bulan berjalan di atas waktu. Tapi dia belum pernah sekali saja menyentuhku. Dia masih membiarkanku perawan. Sekedar menggenggam tanganku, mengecupku, atau apa pun itu. Dia tidak pernah sekalipun melakukannya. Semakin hari, dia jadi semakin dingin. Tak banyak bicara. Membuatku merasa bersalah untuk setiap keadaan yang terjadi di antara kami. Apa lagi, sejak Rania menikah. Dia benar-benar berubah. Rania juga.

“Rania aneh, Kak. Aku rasa dia tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Dia seperti sedang berharap pada seseorang yang lain.”

Itulah yang dikatakan suami Rania kemarin sore padaku. Perkataan yang semakin membuat rontok perasaanku. Aku tidak mengerti dengan Januar dan Rania. Mereka saling mencintai. Tapi mengapa mereka harus menikah dengan orang lain? Dan setelah itu, kembali larut dalam luka mereka. Bersikap seolah-olah mereka adalah yang paling menderita soal cinta di dunia. Membuatku menjadi bodoh dan tidak mengerti soal apapun, kecuali mengerti bahwa menikah dengan orang yang kita cintai bukan jaminan untuk sebuah kebahagiaan bisa diraih.

“AAAAA!!!”

Sekali lagi. Aku berteriak lantang. Suaraku menggema. Sayang. Tidak ada yang berubah. Aku sungguh-sungguh menangis. Tersedu-sedu sulit berhenti. Rasanya seperti persediaan air dalam mataku terlalu berlebih. Hingga setiap hari diperaspun masih tetap ada. Sama seperti hujan. Hujan yang tidak akan habis meski setiap hari diturunkan dari langit.

Baiklah. Sudah cukup memikirkan semuanya. Aku sungguh lelah. Biarkan saja. Hari ini, ingin kucoba menjalani hidup apa adanya. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Tanpa perlu berpikir apa yang seharusnya kulakukan tehadap luka di hatiku yang menganga. Tanpa perlu memikirkan bagaimana sebenarnya perasaan mereka. Sudahlah. Aku lelah. Berusaha membuat Januar melupakan Rania sama saja aku berusaha menghentikan hujan. Bukankah itu sia-sia? Apa yang bisa kulakukan? Jawabannya, sederhana sekali. TIDAK ADA.

Hhh...

Aku beranjak dari dudukku. Mulai berjalan menuruni tebing. Hujan mungkin akan turun hari ini. Mendung sudah rapat menutup birunya langit Menganti. Aku sedikit bergegas. Mempercepat jalanku.

“Au!” Tiba-tiba kakiku keseleo. Aku mengaduh kesakitan sambil tak henti-hentinya memegangi pergelangan kaki kananku. Sakit sekali. Meski tetap tidak sesakit hatiku. Tapi rasanya sungguh sakit. Ah! Memang tidak ada yang benar dengan hidupku.

“Kau seharusnya hati-hati.”

Suara itu… Aku mengenalnya! Januar? Dia di belakangku? Sejak kapan?

“Aku mengikutimu sejak tadi. Kau tidak tahu?” tanya Januar kemudian. Siluet wajahnya sedikit lebih menenangkan. Ada sekilas senyum yang ia sunggingkan padaku. Senyum yang sudah lama hilang.

“Biar kubantu.”

Januar mengulurkan tangannya. Hendak menyentuh pergelangan kakiku, tapi kutepis segera tangan itu. Mengapa? Entahlah. Aku hanya lelah dengan sikapnya. Aku kecewa dengan dia yang tidak pernah jujur padaku.

“Meluruskan benang kusut tidak harus dengan cara memotong bagian kusutnya. Aku akan meluruskannya dengan hati-hati. Perlahan.”

Aku heran mendengar kalimat itu. Benang kusut? Maksudnya?

“Sudah kubilang aku mengikutimu sejak tadi.” Januar seolah mengerti ekspresiku. Dia mengeluarkan sebuah botol dari sakunya. Botol kecil itu. Bukankah seharusnya sudah hanyut bersama debur ombak dan buih di lautan?

“Kau membaca isinya?”

Deg! Januar mengangguk.

“Benang yang sudah kusut itu, jujur saja aku tidak bisa meluruskannya dengan caramu. Tapi, aku janji akan tetap membuatnya lurus dengan caraku. Perlahan-lahan. Selama kau membantuku dan selalu berdiri di sisiku, aku yakin aku bisa. Kau mau membantuku?”

Diam. Entahlah. Aku semakin bingung saja dibuatnya. Tidak bisa meluruskan dengan caraku? Itu artinya dia tidak bisa memotong bagian kusutnya. Jadi, meski yang dia pilih tetap diriku, dia tidak bisa menghilangkan Rania dari kehidupannya? Apakah ini adil bagiku? Sungguh. Kurasa, Januar jahat sekali padaku.

“Kita sudah sama-sama dewasa. Kau dan aku sama-sama tahu. Cinta seharusnya menjadi sebuah keikhlasan, kan? Kau jangan khawatir tentang dia. Aku akan melupakannya. Pasti. Jadi, kumohon, bantu aku.”

Ya. Januar benar. Memang cinta seharusnya menjadi sebuah keikhlasan. Memang mencintai seharusnya membiarkan dia bahagia. Dan baiklah. Aku bersedia membantunya. Aku akan membantunya meluruskan benang kusut itu. Aku akan berdiri di sisinya, selalu. Sebagai seorang yang mencintainya dan sebagai seorang istri yang baik baginya.

Aku tersenyum pada Januar. Mengangguk. Januar ikut tersenyum. Memelukku. Dia menggendongku pulang. Menuruni tebing Menganti. Berlatar keindahan dan kedamaian. Di bawah mendung langit Menganti. Kami tersenyum. Bersama.

@_@




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline