Seperti yang kita ketahui, Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB merupakan pajak yang dikenakan kepada orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Kepatuhan wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya ialah kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak serta pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perpajakan (Listyowati dkk., 2018).
Kesadaran wajib pajak berbanding lurus dengan keinginan wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakannya. Di sisi lain, pemenuhan kewajiban perpajakan terlaksana bukan karena kesadaran wajib pajak yang bersangkutan, melainkan untuk menghindari adanya sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak sehingga biaya yang dikeluarkan akan lebih besar lagi (Herdijono dan Sulo, 2015).
Dalam rangka mendukung pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemerintah menerapkan regulasi pengurangan PBB yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak. Terdapat 2 alasan pengurangan PBB. Pertama, pengurangan ini diberikan karena adanya kondisi tertentu objek pajak PBB yang berhubungan langsung dengan kondisi wajib pajak.
Kondisi tertentu yang dimaksud ialah ketika wajib pajak mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada tahun sebelum tahun pengajuan permohonan pengurangan PBB. Adanya konjungsi “dan” mengisyaratkan bahwa pengurangan PBB tersebut akan diberikan ketika wajib pajak tersebut mengalami kedua kejadian tersebut.
Kerugian komersial yang dialami oleh wajib ajak dapat dibuktikan melalui laporan keuangan yang nantinya akan dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh. Di samping itu, pembuktian likuiditas dapat dilakukan dengan menunjukkan ketidakmampuan wajib pajak dalam membayar utang jangka pendek dengan kas yang dimilikinya.
Kemudian, sebab lain diberikannya pengurangan PBB kepada wajib pajak adalah objek pajak PBB tersebut terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. Dalam hal ini, sebab lain yang luar biasa maksudnya ialah objek pajak terkena kebakaran, wabah penyakit, wabah hama, ataupun tindakan anarkis.
Secara umum, pengurangan PBB dapat diberikan kepada wajib pajak atas PBB terutang pada SPPT, SKP PBB, dan STP PBB. Akan tetapi, ketika wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan PBB akibat kerugian dan kesulitan likuiditas yang dialaminya, maka STP PBB yang dapat diberikan pengurangan hanyalah STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan PBB dengan pengurangan maksimal yang diberikan sebesar 75% dari jumlah PBB terutang pada SPPT, SKP PBB dan STP PBB. Sementara itu, apabila wajib pajak mengajukan permohonan pengurangan PBB akibat bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, pengurangan maksimal yang diberikan sebesar 100% dari jumlah PBB terutang pada SPPT, SKP PBB dan STP PBB.
Untuk sektor pertambangan migas, pengurangan PBB dapat diberikan sebesar 100% dengan persyaratan seperti berikut.
- Dikenakan atas PBB terutang berupa tubuh bumi
- Usahanya masih dalam tahap eksplorasi
- Kontrak kerja sama dilakukan setelah PP Nomor 79 Tahun 2010 terbit
- Wajib pajak menyampaikan SPOP
- Mendapatkan surat rekomendasi dari menteri terkait
Pengurangan ini dapat diberikan setiap tahun, maksimal 6 tahun sejak tanggal ditandatanganinya kontrak kerja sama dan dapat pula diperpanjang selama 4 tahun apabila telah memiliki surat rekomendasi dari menteri terkait. Di samping itu, terdapat juga pengurangan PBB sebesar 100% untuk sektor panas bumi. Adapun persyaratannya, sperti:
- Dikenakan atas PBB terutang berupa tubuh bumi
- Usahanya masih dalam tahap eksplorasi
- Izin usaha terbit setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2014
- Wajib pajak menyampaikan SPOP
- Telah mendapatkan surat rekomendasi dari menteri terkait
Sedikit berbeda dengan sektor migas, pengurangan PBB pada sektor panas bumi dapat diberikan setiap tahun, maksimal 5 tahun sejak tanggal Izin Panas Bumi diterbitkan dan dapat pula diperpanjang selama 2 tahun apabila telah memiliki surat rekomendasi dari menteri terkait.
Permohonan pengurangan PBB bagi wajib pajak diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Menteri Keuangan yang nantinya akan disampaikan melalui Kepala KPP. Permohonan tersebut memuat besaran persentase pengurangan PBB yang disertai dengan alasan yang jelas dan harus ditandatangai oleh wajib pajak, wakil wajib pajak, atau kuasa wajib pajak. Kemudian, wajib pajak juga harus melampirkan fotokopi SPPT, SKP PBB dan STP PBB serta memenuhi semua persyaratan yang telah diatur, seperti tidak memiliki tunggakan PBB atas objek pajak yang diajukan untuk mendapatkan pengurangan PBB, kecuali objek PBB tersebut terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.