Lihat ke Halaman Asli

Joki Semakin Terdepan: Menipu Masa Depan, Merusak Harapan

Diperbarui: 16 Agustus 2024   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di dunia pendidikan, joki, bukanlah suatu hal yang asing lagi. Praktiknya yang merajalela, kini tengah menjadi sorotan banyak orang. Bayangkan saja, tugas atau ujian yang seharusnya dikerjakan dengan kemampuan sendiri, malah diserahkan ke orang lain dengan imbal jasa uang. 

Artinya, hasil pekerjaan orang lain akhirnya diakui miliknya sendiri. Bukankah luar biasa? Pelajar jujur menjadi pejuang tanpa medali, berusaha keras tetapi tidak dihargai. Lebih parah lagi, hal ini menjadikan kualitas pendidikan Indonesia seperti mie instan—cepat saji tetapi minim gizi (cepat selesai tetapi minim ilmu).

Bagaimana rasanya mempunyai “superhero” yang dapat menyelamatkan nilai di sekolah? Untuk sebagian pelajar, joki bisa dibilang sebagai “pahlawan” yang jasanya mereka gunakan untuk kepentingan pendidikan. Namun, pada dasarnya mereka bukan pahlawan. Mereka sebenarnya adalah “penipu”. Tanpa disadari fenomena joki merupakan bibit-bibit perilaku tindak pidana korupsi (Liputan6.com, 13/11/2022).

Belakangan ini, joki kembali menjadi perbincangan di media sosial. Sebelumnya, co-founder What Is Up, Indonesia? (WIUI), Abigail Limuria, melalui akun pribadi X miliknya, @abigailimuriaa, mengaku terkejut akan keberadaan joki yang dinormalisasikan. Bahkan tidak sedikit orang yang menyatakan secara gamblang jasa jokinya.

Abigail Limuria terlihat berkali-kali menandai akun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Kemendikbudristek akhirnya merespon, “Halo, Kak. Civitas academica dilarang menggunakan joki (jasa orang lain) untuk menyelesaikan tugas dan karya ilmiah karena melanggar etika dan hukum. Hal tersebut merupakan bentuk plagiarisme yang dilarang dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,” sebutnya.

Kemendikbudristek menyambung, “Civitas academica harus menggunakan daya kemampuannya sendiri dalam menunjukkan kapasitas akademiknya. Bagi warganet yang menemukan praktik plagiarisme/kecurangan akademik, laporkan ke http://ult.kemdikbud.go.id atau http://posko-pengaduan.itjen.kemdikbud.go.id @Itjen_Kemdikbud.”

Siapa yang Salah: Penyedia Jasa atau Pengguna Jasa? 

Dalam fenomena joki ini, apabila ingin mencari siapa yang lebih salah tentunya akan membuat kita berpikir keras. Tetapi, apabila dicermati kembali, pengguna jasa joki adalah oknum yang lebih membutuhkan “jalan pintas”. Mereka mengetahui bahwasanya menggunakan joki adalah perbuatan yang curang, tetapi mereka tetap melakukannya demi nilai yang bagus tanpa usaha yang keras.

Penyedia jasa joki bukannya tak lebih bersalah, mereka hanya pandai mencari celah dan peluang untuk mendapatkan uang. Ibarat kata, penyedia jasa joki itu seperti penjual gorengan, di mana mereka berjualan karena ada konsumen. Tetapi, pengguna jasa joki itu yang sengaja berjalan kaki dengan jarak yang jauh untuk membeli gorengan tersebut, meski mengetahui bahwa gorengan merupakan makanan yang tidak sehat.

Bisa dibilang bahwa pengguna jasa joki sangat aktif berkontribusi dalam praktek kecurangan, merusak esensi belajar, dan membuat pelajar lain yang jujur mejadi kalah saing. Jadi, dalam urusan salah-salahan ini, pengguna jasa joki lebih layak mendapatkan “kartu merah” karena mereka yang menyebabkan budaya curang semakin laris manis.

Penyelesaian Instan atau Malapetaka Masa Depan?

Menggunakan jasa joki itu ibarat menambal ban bocor memakai permen karet— terlihat beres, tetapi akan bocor lagi. Sekilas, joki tampak seperti penyelesaian instan yang menggoda—nilai naik, tugas beres, dan hidup tenang. Tetapi tunggu dulu, efek sampingnya seperti durian busuk yang dilempar dari lantai 10.

Pada laman Quora terdapat pendapat menarik yang sayang untuk dilewatkan. Salah satu pengguna Quora, penyedia jasa joki, menyatakan bahwa terdapat banyak orang yang sibuk dan harus menyelesaikan banyak tugas pada waktu bersamaan. Ia mengaku pernah mendapat konsumen yang kuliah sembari bekerja serta konsumen yang sedang sakit. Keduanya mempunyai tenggat tugas yang sudah mepet, sehingga keadaan seakan-akan mengharuskan mereka melakukan joki. Ia menganggap bahwa joki tidak melanggar hak cipta selama terdapat kesepakatan diantara dua pihak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline