Jakarta, 8 Desember 2024 -- Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) menggelar talkshow bertema "Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan". Talkshow yang dilangsungkan di FX Sudirman ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik sekaligus memperkuat upaya kolektif untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan, terutama di ruang digital.
Direktur YGSI, Ely Sawitri membuka acara dengan menyampaikan komitmennya terhadap Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). "Kami berkomitmen untuk mempromosikan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) kepada lembaga dan pemerintahan yang memiliki visi sama. Perjalanan ini masih panjang dengan banyak tantangan, seperti stigma dan minimnya pelayanan. Peringatan ini adalah langkah nyata menuju perubahan," ungkap Elly.
Talkshow ini menghadirkan narasumber kompeten yang menyoroti isu kekerasan terhadap perempuan dalam tajuk "Dunia Digital atau Medan Perang? Yuk, Jadi Pahlawan Pemberantas Kekerasan Online!". Diskusi yang berlangsung membahas berbagai bentuk kekerasan berbasis gender di ruang digital atau biasa disebut Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), seperti cyberbullying, ujaran kebencian, dan penyebaran konten intim tanpa izin (Non-Consensual Intimate Images Violence). Para narasumber mengupas akar permasalahan, dampak, dan solusi praktis, termasuk menjaga keamanan digital dan membangun ruang digital yang aman.
Ellen Kusuma, seorang aktivis gender menilai bahwa KBGO adalah masalah serius, namun kerap kali dipandang remeh karena kurangnya edukasi dan penegakan hukum. Menurutnya, penting untuk memberikan edukasi kepada pelaku dan memastikan ada efek jera melalui tindakan hukum yang tegas.
"Sanksi bagi pelaku KBGO bisa dilakukan,seperti report konten, memberi teguran, edukasi melalui komunikasi ke pelaku. Yang perlu diperhatikan adalah kekerasan tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan lainnya," imbuh Ellen.
Senada, Syifana Ayu, perwakilan dari Kompaks Jakarta Feminist, juga merasakan tantangan yang sama bahwa pendidikan seksualitas yang komprehensif sangat diperlukan untuk mengatasi stigma yang mengakar di masyarakat. Menurutnya, yang pernah mengajar biologi di SMA, pendidikan seksualitas dianggap tabu ketika dibicarakan di sekolah ataupun di media sosial.
"Namun, saat ini edukasi terkait anatomi tubuh di media sosial di take down, dianggap tak pantas. Di lain sisi, video dan gambar senonoh tetap dipertahankan di media sosial," tutur Sam, panggilan akrabnya. Dirinya juga sering melihat masyarakat (netizen) yang terpapar stigma negatif tentang perempuan justru malah menyebarkan hate comment dan report akun edukasi seksualitas.
Selain tantangan menyebarkan edukasi tentang seksualitas, Ayu, perwakilan Women Crisis Centre (WCC) di Jombang justru sudah berhadapan dengan penyintas kekerasan.
"Di Jombang, setiap tahun selalu mengalami peningkatan kasus kekerasan seksual dan umur penyintas semakin muda. Penyintas kekerasan seksual seringkali tak hanya mengalami satu kekerasan, namun kekerasan berlapis," papar Ayu yang menceritakan pengalamannya menangani kasus kekerasan seksual. WCC menyampaikan komitmennya atas hak penyintas, seperti bantuan hukum dan pendampingan psikologis harus terus diperjuangkan.
Nabila Tauhida, dari Koalisi Perempuan Indonesia, menegaskan perlunya edukasi berkelanjutan. Ia menekankan bahwa sistem patriarki di Indonesia masih kental sekali. Perempuan dianggap object yang perlu dikontrol oleh sesuatu yang lain. Bahkan sampai menganggap tubuh perempuan bukan milik perempuan itu sendiri.
"KBGO ini bergerak cepat sekali, apalagi banyak akun anonim. Kita harus terus mengedukasi," ujarnya menabar semangat juang."