Nia Kurnia Sari, yang belakangan viral di TikTok dan media sosial lainnya, telah menarik perhatian publik. Kasus viral TikTok Nia Kurnia Sari adalah refleksi mendalam tentang moralitas, empati, dan literasi digital di masyarakat kita. Kasus viral yang melibatkan nama Nia Kurnia Sari menjadi perhatian publik tidak hanya karena intensitas penyebarannya, tetapi juga karena fakta memilukan bahwa sosok yang dijadikan bahan bercandaan tersebut sudah meninggal dunia.
Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: sejauh mana masyarakat menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam ruang digital? Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga yang memiliki tanggung jawab intelektual dan sosial, sangat penting bagi kita untuk mengevaluasi masalah ini secara kritis dan memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang masalah ini. Seringkali, popularitas di media sosial didorong oleh keinginan untuk hiburan instan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya. Kasus Nia Kurnia Sari adalah contoh tentang bagaimana masyarakat cenderung mengesampingkan kemanusiaan seseorang untuk mendapatkan "like" dan "share", yang mengarah pada cyber violence yang tidak kasatmata, di mana orang menjadi korban eksploitasi massa digital.
Sebagai mahasiswa, kita harus mempertanyakan: Apakah viralitas yang dihasilkan dari penghinaan atau olok-olokan dianggap wajar dalam budaya kita? Bagaimana posisi kita dalam mencegah tindakan semacam ini menjadi standar? TikTok dan platform lainnya telah berubah menjadi tempat baru untuk berinteraksi dengan orang lain, tetapi mereka juga sering menjadi tempat dimana dehumanisasi terjadi. Dalam situasi ini, nama Nia Kurnia Sari telah kehilangan maknanya secara pribadi dan menjadi simbol penghinaan. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat mengubah identitas seseorang menjadi objek hiburan publik. Kita harus menyadari bahwa tindakan dehumanisasi ini tidak hanya merusak orang yang menjadi sasaran, tetapi juga menunjukkan bahwa sistem nilai masyarakat kita rusak. Di tengah arus informasi yang begitu cepat, mengapa empati menjadi begitu langka? Tindakan menjadikannya bahan candaan hanya diperburuk oleh kematian Nia Kurnia Sari. Tidak hanya menunjukkan kurangnya empati, tetapi juga melanggar kebiasaan manusia untuk menghormati mereka yang telah tiada. Tindakan ini menunjukkan pergeseran moral di ruang digital. Mengolok-olok seseorang yang telah meninggal bukan sekadar tindakan yang tidak etis, tetapi juga dapat melukai keluarga dan kerabat almarhum. Dalam kapasitas kita sebagai manusia, kita harus bertanya: apakah standar moral kita telah hilang di depan kamera?
Kasus ini menunjukkan betapa kurangnya literasi digital di masyarakat. Banyak pengguna TikTok tidak menyadari konsekuensi hukum dan moral dari tindakan mereka di internet. Mereka seringkali tidak menyadari bahwa menjadikan seseorang sebagai bahan candaan dapat mengakibatkan pelanggaran privasi, perundungan siber, atau bahkan trauma psikologis bagi korban. Sebagai mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab besar untuk meningkatkan literasi digital di masyarakat. Penting bagi kita untuk memberi tahu orang-orang tentang cara berperilaku etis di internet serta tentang konsekuensi hukum dari tindakan yang dilakukan di media sosial. Komedi yang menjadikan nama perempuan sebagai objek ejekan adalah bagian dari budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita. Baik di dunia nyata maupun digital, perempuan sering menjadi target penghinaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa struktur sosial kita masih memungkinkan kekerasan berbasis gender untuk terjadi tanpa akibat yang signifikan. Apakah bercandaan ini akan sama jika korbannya adalah pria? Ini adalah pertanyaan yang harus kita ingat. Untuk alasan apa wanita lebih sering dieksploitasi dalam konteks seperti ini?
Kasus Nia Kurnia Sari menunjukkan bagaimana teknologi sering merusak nilai-nilai sosial kita. Bahkan setelah seseorang meninggal, kita sebagai masyarakat telah gagal melindungi martabatnya. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, kita harus berpartisipasi dalam penyelesaian. Teknologi hanyalah alat yang netral yang menyampaikan nilai-nilai yang kita bawa. Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai pengingat untuk membangun ruang digital yang lebih manusiawi di mana martabat manusia dihargai baik saat hidup maupun setelah meninggal. Bahkan setelah kematian seseorang, kehidupannya masih berharga. Jangan sampai kita menjadi generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H