Lihat ke Halaman Asli

Hubungan Kami? Entah Apa Namanya...

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Aku wanita biasa. Ingin kau perhatikan, ingin kau perlakukan sama seperti layaknya kau memperlakukan teman wanitamu itu. Aku benci menjadi pihak dimana keadaanku tak pernah terjangkau matamu.

Kami berhubungan, layaknya kekasih normal pada umumnya. Namun berbeda, karena tak ada kejelasan dari hubungan yang entah dinamakan apa. Kami hanya saling percaya, bahwa kami masih saling menyimpan rasa. Ya, sesederhana itu. Tanpa status.

Hubungan kami tak sesederhana itu. Aku tipe wanita pecemburu, dan sering kali tak tahan dengan teman-teman wanitamu. Kata-kata mesra itu meluncur begitu saja, memenuhi beranda facebook-ku. Menyakitkan dimana kau melihat seorang yang mengatakan cinta padamu namun justru ia asyik bertukar kata mesra dengan teman dunia maya-nya. Aku mencoba mencari kebenaran. Mereka hanya teman, begitu kata sahabatmu. Aku mencoba percaya, mencoba bersikap biasa saja. Namun yang terjadi justru diluar pikiranku. Wanita itu semakin berani mendekatimu. Semakin agresif merebut perhatianmu. Dan kau, seolah tanpa salah menyambutnya dengan perhatian yang tak kalah luar biasa. Sangat jauh berbeda dengan sikapmu padaku. Kau lebih sering mengacuhkanku. Sibuk dengan urusanmu, tanpa aku tahu apa yang kau lakukan dengan ‘duniamu’. Entah bermain dengan teman lelakimu, atau dengan perempuan itu.

Aku mencoba bersikap baik-baik saja, seolah tak mempersalahkan kedekatanmu dengan wanita itu. Sebenarnya? Ha ha ha ha. Cemburuku tak wajar, lambat laun berubah dendam. Aku kebingungan, namun tak kunjung mendapat kejelasan. Sikapmu seolah membenarkan memang hubungan kalian lebih dari teman. Dan kutahu dari sahabatmu, wanita itu memang mencintaimu. Aku cemburu. Aku merasa semakin tersisih dari kehidupanmu. Berhak-kah aku untuk cemburu? Berhak-kah aku untuk melarangmu dekat dengan wanita itu? Aku tak tahu. Kau bukan siapa-siapaku, dan seharusnya aku tak pernah merasa itu.

Teman wanitamu itu membuatku merasa aku bukan siapa-siapamu. Membuatku merasa, yaa... katakanlah aku minder. Dia cantik, harus ku akui itu. Rambut panjang lurus yang jelas berbeda jauh dengan rambut pendekku. Hanya lelaki bodoh yang memilihku jika ada pilihan wanita secantik itu. Kau benar-benar lupa dengan janji-janjimu. Kita tak bisa putus, begitu katamu. Yeah, kata-kata itu hanya huruf-huruf mati, yang tentu saja bisa ditulis dengan mata terpejam. Bisa diucapkan dengan mudahnya. Kata-kata manis namun menyakitkan, karena kata-kata itu tak menyimpan kebenaran didalamnya. Omong kosong.

Yang ku tahu, setelah itu hubungan kita benar-benar merenggang. Baik sikapku atau sikapmu sama menyiratkan kebosanan. Aku bukan bosan denganmu, atau dengan hubungan tak jelas ini. Aku hanya bosan melihat begitu besarnya perhatian yang kau berikan untuk wanita itu. Aku hanya bosan melihat bagaimana cara ia merespon setiap perhatianmu dengan kata-kata tak kalah manis itu. Aku hanya bisa menelan ludah setiap kali melihat itu. Tak hanya wanita itu ternyata. Masih banyak wanita yang sama seperti aku, sama menginginkanmu. Jauh lebih cantik. Dan, sungguh, sebagai wanita aku merasa minder. Bagaimana bisa aku tetap denganmu jika banyak wanita cantik mulai mencoba menarik perhatianmu? Aku ada di posisi yang entah berhak atau tidak untuk cemburu terhadap mereka. Tak jelas, tak bisa menuntut banyak. Hanya bisa berharap semoga kau tetap denganku, itu saja.

Harapanku tak terkabul, ha ha ha. Aku tak bisa menahan entah berapa besar cemburu itu membebani perasaanku. Aku tak mampu membendung marah yang timbul kala kau mengacuhkanku. Aku tahu apa yang kau lakukan, sesibuk itukah kau dengan teman-temanmu? Teman lelaki atau teman wanitamu itu, sayang? Aku meradang, mengetahui setiap kemungkinan yang ada. Aku marah. Aku khawatir suatu saat kau benar-benar terlepas dari jangkauanku.

Aku mendiamkanmu, dan kau anggap itu sebagai salah satu sikap labilku. Aku memang tidak cerdas dalam mengontrol emosi, aku menyadari itu. Kau tak tahu, sikap diam itu untuk membuatmu mawas diri. Luapan cemburu, yang ku ekspresikan dalam bentuk bisu. Aku ingin kau tahu, aku cemburu. Aku ingin mengatakan itu, namun entah mengapa aku tak berani. Aku merasa tak sanggup. Kau tersulut dengan sikapku yang begitu menyebalkan. Kau merasa tak tahan, dan... Ya, benar. Selanjutnya kita berpisah. Kau terlepas dari genggamanku. Satu ketakutan terbesar dalam hidupku, yang kini benar-benar menjadi suatu kebenaran.

Aku memang mencintaimu, namun bukan berarti aku mau untuk terus disakitimu. Kau menyakitiku, dengan cemburu yang kau toreh dengan perhatian manis untuk wanita itu. Untuk apa aku bertahan denganmu jika kau tak pernah menghargaiku? Lebih baik kita melepas, mencari kebahagian dengan cara yang tak lagi sama. Mungkin saja kebahagianmu itu ada pada salah satu wanita-wanita pengagum-mu. Ya, mungkin saja... terimakasih, untuk hubungan tak jelas itu. Hubungan yang membuat perasaanku terlampau jauh. Hubungan yang membuat aku mencintaimu, namun justru membuat aku menyakiti diriku sendiri.

Tiga bulan berlalu sejak kami berpisah. Tiga bulan sudah aku mencoba beradaptasi, mencoba terbiasa untuk menjalani fase baru tanpa ada kau bersamaku. Tiga bulan itu pula aku tahu, ada beberapa wanita yang dekat denganmu. Perasaanku? Tak ada yang berubah. Aku masih mencintaimu, dan kau tahu itu benar...

With tears,

Zahra HP :’)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline