Lihat ke Halaman Asli

Hidup, Kita yang Menentukan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan yang lalu diperusahaan kami ada karyawan baru.Pandangan pertama berkesan orangnya cantik dan hasil interview dia juga pintar.Umurnya masih muda tetapi sudah berkeluarga.Beberapa hari dia masuk kerja masih berjalan seperti biasanya,tidak ada yang aneh,tapi ketika memasuki hitungan bulan dia bekerja disini,aslinya orang ini mulai muncul.Banyak hal yang seharusnya dianggap tabu, tetapi biasa bagi orang ini.Misalkan meskipun dia masih muda tetapi dia kan sudah berkeluarga,kok masih punya pacar lagi,terang – terangan kesemua orang pula.Meskipun dengan alasan pacar inilah cinta pertamanya,sedangkan alasan menikah dengan si suaminya yang sekarang karena “terpaksa”memang harus menikah.Sempat saya kepo kesalah satu temen yang kebetulan akrab sama dia,kok orang ini aneh sudah punya suami,tapi terang terangan punya pacar lagi?Mau Poliandri?.Temen saya itu bilang kalau mbak yang ini kenapa jadi begini karena merasa jadi korban perceraian kedua orang tuanya,jadi hidupnya jadi tidak terkendali,cuek macam sekarang.Aaapppaaa????Saya pikir itu alasan yang amat sangat aneh.

Karena cerita tersebut saya jadi ingin berbagi kepada semua orang,khususnya kepada orang – orang yang merasa menjadi korban perceraian keluarganya :

Sejujurnya saya katakan bahwa saya ini adalah produk broken home.Bapak dan ibu saya bercerai ketika saya masih bayi.Karena masih kecil,Bapak merelakan saya ikut dengan ibu.Jadilah saya diasuh oleh ibu dan almarhum nenek.Untuk biaya hidup ibu harus bekerja dan saya lebih banyak dengan nenek.Meskipun hidup serba pas – pasan tapi saya tumbuh seperti anak – anak lainnya,tidak pernah merasa kekurangan apapun.Kedua orang tua saya juga tidak pernah menyalahkan satu sama lain,ketika saya bertanya kenapa harus berpisah ibu selalu berkata,pada saat besar nanti kamu akan mengerti.Bagi anak kecil jawaban itu jelas membingungkan.Tapi ya sudahlah,saya selalu berpikir seperti itu.

Suatu hari pada waktu kelas satu SD,saya pulang sekolah sendiri,tanpa menunggu dijemput.Ibu saya kaget kok sudah berani pulang sendiri,padahal jarakrumah dan sekolah lumayan jauh.Karena takut dimarahi langsung saya belokkan omongan Ibu dengan memberitahukan bahwa saya baru saja ditunjuk jadi ketua kelas oleh ibu guru.Spontan Ibu langsung memeluk dan mencium saya,dan langsung bilang kepada alm bude yang pada waktu itu ada didekatnya “ anak ini memang mirip bapaknya,bakat jadi pemimpin “.Seneng rasanya waktu itu,soalnya Ibu tidak pernah memuji apalagi menyamakan dengan Bapak.Mulai hari itu saya selalu kepikiran bahwa saya akan membuktikan ucapan ibu,bahwa suatu hari saya akan menjadi pemimpin.

Sebenernya sangat tidak enak melihat ibu harus bekerja sendiri,ditambah umur beliau yang sebenernya sudah tidak muda lagi,kata orang umur Ibu lebih cocok jadi nenek saya.Tapi mau gimana lagi?saya tidak bisa berbuat apa – apa,yang bisa saya lakukan hanya bagaimana caranya agar tidak menyusahkannya.

Saat remaja nenek meninggal dunia,dan itulah pertama kali betul – betul saya rasakan apa artinya kehilangan.Banyal hal yang selalu saya angan – angankan untuk beliau dan sama sekali belum tersampaikan.Waktu itu Ibu saya sudah menikah lagi dan saya sudah mempunyai seorang adik laki – laki.Setelah Ibu menikah saya lebih banyak dengan nenek,soalnya pada taulah orang tua tiri itu seperti apa( meskipun tidak semuanya ).

Setelah ditinggal nenek saya sempat kelimpungan dan akhirnya saya putuskan untuk tinggal dirumah kakak sepupu .Perjuangan saya dimulai disitu.Waktu itu saya masih SMA.Saya tidak ingin menyusahkan Ibu,juga kakak sepupu.Hanya cita – cita yang menguatkan saya,suatu hari saya harus membahagiakan ibu dan alm nenek.Sempat saya mendengar ceramah di masjid,bahwa apapun yang dilakukan oleh seorang anak,kelak di Yaumul Mizan orang tuapun akan ikut dimintai pertanggung jawaban.Ceramah itulah yang selalu saya ingat sampai hari ini,kenapa?karena saya sangat cinta Ibu,Bapak dan almarhum nenek saya.

Dan saat ini saya sudah menjadi pimpinan di salah satu perusahaan kecil  (tapi sangat besar menurut     saya).Karena cinta kepada Ibu dan alm nenek,saya selalu berusaha mewujudkan mimpi mereka.Saya tidak pernah merasa menjadi korban perceraian kedua orang tua .Saya selalu berfikir tanpa semua yang saya lalui,saya tidak akan menjadi pribadi kuat seperti sekarang,Tuhan pasti mempunyai rencana terbaik untuk hambaNya.

Mengutip salah satu paragraf novel 9 Summer 10 Autumns karya Iwan Setyawan :kita tidak  bisa memilih masa kecil kita,tapi kita bisa memilih dan menentukan masa depan kita.Jadi apakah itu korbanperceraian orangtua,korban jambret,perampokan atau apapun, semuanya kembali ke diri kita sendiri,bagaimana kita menyikapinya.

~ Freny Sandra P. ~




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline