Lihat ke Halaman Asli

Zahra Aurora

Mahasiswa Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Seni Berkata Saat Kata Sudah Tak Mampu - ARTJOG 2024 "Ramalan"

Diperbarui: 13 September 2024   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi oleh Zahra Aurora Ridwan

Dua tahun sudah aku menetap di Yogyakarta, kota yang memeluk para perantau seperti ku dengan hangat. Di antara semua pengalaman yang kurindukan setiap tahunnya, ARTJOG selalu menjadi yang paling dinanti. Pameran ini bukan sekadar tempat untuk menikmati karya seni; ia adalah ruang bagi ku untuk merenung, dan merajut imajinasi yang tak terbatasi oleh waktu. 

Tahun ini, ARTJOG 2024 hadir dengan tema "Ramalan," tema yang seolah merangkum masa lalu, kini, dan masa depan dalam benang merah yang mengajak kita memikirkan apa yang akan terjadi di esok hari yang penuh misteri. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, daya tarik akan ramalan selalu mampu memikat imajinasi kita. Tahun ini, ArtJog 2024 membawa rasa penasaran itu membuka portal menuju dunia ramalan melalui karya para seniman.

Pagi itu, aku dan seorang temanku berangkat menuju venue ARTJOG, yaitu Jogja National Museum (JNM). Selama perjalanan, kami berdua sangat bersemangat, membicarakan ekspekstasi kami tentang pameran tahun ini. Kami melewati jalan-jalan di Yogyakarta yang ramai, dengan penjual kaki lima dan kendaraan yang berlalu lalang, menambah kesan hidup dari kota ini. 

Sesampainya di venue, kami disambut oleh keramaian yang penuh antusias. Namun, begitu melangkah masuk ke ruang pameran, suasana mendadak berubah. Hingar-bingar di luar berganti keheningan, seakan mempersiapkan jiwa untuk sesuatu yang lebih mendalam. 

Dokumentasi oleh Zahra Aurora Ridwan

Salah satu karya yang langsung memikat perhatianku adalah "Suara Keheningan" oleh Agus Suwage dan Titarubi. Di sudut-sudut ruangan, telinga-telinga menggantung, seakan memanggilku untuk mendekat dan mendengar. Karya ini membuatku berpikir, apa makna di balik keheningan yang disampaikan? Telinga, yang biasa menjadi alat mendengar, kini menjadi simbol bisu yang mengajakku merenung. 

Aku mendekat, dan tiba-tiba suara alam yang kerap terabaikan terdengar: kicauan burung, desiran angin, gemercik air sungai. "Suara Keheningan" adalah seruan bagi kita untuk lebih peka, untuk mendengar bisikan alam yang sering kita abaikan. Karya ini bukan sekadar ramalan tentang masa depan, melainkan sebuah ajakan untuk memahami tanggung jawab kita terhadap bumi ini.

"Suara Keheningan" oleh Agus Suwage dan Titarubi (Dokumentasi oleh Zahra Aurora Ridwan)

"Suara Keheningan" oleh Agus Suwage dan Titarubi (Dokumentasi oleh Zahra Aurora Ridwan)

Tak jauh dari sana, karya "Pertumbuhan Tanpa Rasa Sakit" oleh Agung Prabowo menantangku untuk berpikir lebih dalam. Dengan linocut yang berani dan daun perak berkilauan, ia menggambarkan sosok berkepala dua yang melambangkan kekuatan sekaligus luka manusia. Tanaman tajam yang tumbuh liar di sekelilingnya mengisyaratkan kerusakan yang telah kita tanam di dunia. 

Karya ini bagaikan paradoks antara kehancuran dan harapan, mengingatkan kita akan kebutuhan menjaga keseimbangan demi masa depan. Lalu, karyanya Haris Purnomo, "Baby in Red," menyuguhkan kenyataan pahit dengan menggambarkan bayi-bayi bertato, simbol kepedihan yang merenggut kemurnian mereka akibat kekejaman genosida. Di tengah ruang pameran yang sunyi, karya ini menghantamku dengan kedalaman emosional yang tak terelakkan---penderitaan yang terukir di atas tubuh-tubuh tak berdosa, sebuah gambaran bisu tentang kebrutalan dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline