Tahun politik 2024 membawa dinamika baru dalam kehidupan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam memandang politik, yang dipengaruhi oleh teologi dan tradisi masing-masing. NU dengan akar teologi Asy'ariyah cenderung mengedepankan pendekatan spiritual dan kultural, sementara Muhammadiyah yang lebih modern dan rasional sering memadukan logika dengan prinsip moral dalam menentukan pilihan politik. Dalam suasana politik yang memanas, keduanya tetap menunjukkan kekhasan cara berpikir yang menarik perhatian.
NU: Teologi Asy'ariyah dan Istikharah Politik
NU, dengan pendekatan teologi Asy'ariyah, memiliki tradisi yang sangat kental dengan dimensi spiritual dan kultural. Warga NU sering kali mengandalkan istikharah politik, yaitu kombinasi antara doa memohon petunjuk dan arahan dari para kiai. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa ulama memiliki wawasan yang tidak hanya mencakup aspek duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dalam praktiknya, diskusi politik di kalangan NU cenderung santai dan penuh humor khas pesantren, yang sering kali digunakan untuk meredakan ketegangan dalam perbedaan pandangan.
Muhammadiyah: Rasionalitas dan Ujian Pilihan
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah mengusung pendekatan yang lebih rasional dan modern dalam menentukan pilihan politik. Pemilu bagi warga Muhammadiyah sering dianggap sebagai proses logis yang membutuhkan perhitungan matang berdasarkan data, analisis, dan nilai-nilai agama. Prinsip amar ma'ruf nahi munkar menjadi dasar utama dalam menilai calon pemimpin yang adil dan berintegritas. Warga Muhammadiyah sering kali aktif di media sosial, menyajikan argumen yang didukung oleh statistik, kutipan ayat Al-Qur'an, dan pandangan ilmiah. Gaya diskusi mereka yang serius dan berbasis logika mencerminkan semangat pembaruan yang menjadi ciri khas Muhammadiyah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk politik.
Harmoni dalam Perbedaan
Meski memiliki pendekatan berbeda, warga NU dan Muhammadiyah kerap bertemu di ruang-ruang diskusi, baik secara daring maupun luring. Media sosial menjadi salah satu arena perdebatan yang ramai, di mana gaya humor santai warga NU bertemu dengan argumen berbasis data warga Muhammadiyah. Meski kadang memanas, kedua kelompok memiliki cara unik untuk meredakan perbedaan: ngopi bersama. Warung kopi sering menjadi tempat bertemu setelah debat panjang di grup WhatsApp, menciptakan suasana damai yang mencerminkan semangat ukhuwah Islamiyah. Tradisi ini memperlihatkan bahwa meskipun memiliki pandangan yang berbeda, persatuan dan persaudaraan tetap menjadi nilai utama yang dijaga.
Kesimpulan
Pada akhirnya, baik NU maupun Muhammadiyah menawarkan harmoni yang saling melengkapi dalam lanskap politik Indonesia. NU membawa semangat tasamuh yang menyejukkan suasana politik, sementara Muhammadiyah dengan semangat tajdid mendorong pembaruan narasi politik yang sehat dan rasional. Keduanya sepakat bahwa pemilu bukan sekadar ajang menang-kalah, tetapi juga momen menjaga akhlak dan integritas dalam berbangsa. Di tengah hiruk-pikuk tahun politik, keduanya terus membuktikan bahwa perbedaan adalah rahmat, dan persatuan adalah kekuatan utama umat Islam Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H