Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh dua atau salah satu pihaknya masih yang belum cukup umurnya. Banyak perspektif tentang pengertian pernikahan dini itu sendiri. Menurut UU No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU RI No.1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa pernikahan diizinkan bila pihak perempuan dan laki-laki telah mencapai usia 19 tahun.
Jika belum mencapai maka dianggap pernikahan dini dan harus mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditentukan. Menurut BKKBN, pernikahan yang berlangsung pada usia dibawah usia reproduktif yakni kurang dari 20 tahun untuk perempuan dan kurang dari 25 tahun untuk laki-laki merupakan pernikahan dini.
Indonesia menempati posisi ke 7 kasus pernikahan dini di Dunia. Hal tersebut dipaparkan oleh Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University dalam seminar bertajuk 'Pernikahan Anak dan Beragam Resikonya' pada tanggal 5 Maret 2022 lalu. Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2020 juga mencatat 5 provinsi dengan angka pernikahan dini paling tinggi dibandingkan oleh provinsi-provinsi lainnya.
Yakni Kalimantan Selatan dengan jumlah 12,52 persen, Jawa Barat dengan jumlah 11,48 persen, Jawa Timur dengan jumlah 10,85 persen, Sulawesi Barat dengan jumlah 10,05 persen, dan Kalimantan Tengah dengan jumlah 9,85 persen.
Banyaknya faktor yang mendasari terjadinya banyak kasus pernikahan dini di Indonesia yakni rendahnya pendidikan dan status sosial ekonomi, serta kurangnya edukasi terkait efek dari pernikahan dini. Bukan hanya itu saja, peran media sosial yang mendoktrin remaja untuk melakukan pernikahan dini guna meringankan beban orang tua dan menghindari zina.
Dorongan orang tua yang berlandaskan kebudayaan untuk melakukan pernikahan dini juga menjadi salah satu faktor yang paling banyak ditemui. Dan juga pernikahan dini akibat hamil diluar nikah yang dianggap akan menyelesaikan masalah.
Efek dari pernikahan dini ini beragam. Yakni meningkatnya angka putus sekolah, meningkatnya angka stunting pada anak yang dilahirkan dari orang tua yang masih berusia dini, merendahnya tingkatan ekonomi akibat banyaknya pelaku pernikahan dini belum memiliki pekerjaan tetap karena masih berstatus siswa,
meningkatnya angka perceraian akibat konflik rumah tangga yang tidak bisa dihadapi oleh pelaku pernikahan dini lantaran kontrol emosi yang masih rendah dan masih banyak lagi.
Banyaknya orang tua serta remaja yang belum teredukasi penuh terkait efek dari pernikahan dini. Stigma tentang 'tidak laku' membuat banyak masyarakat yang berbondong-bondong untuk menikahkan anaknya agar terjauh dari stigma buruk bila tidak menikah.
Stigma 'tidak laku' ini dimaksudkan kepada perempuan dan laki-laki yang belum menikah di usia yang telah matang. Tidak memperdulikan usia, yang terpenting adalah anak-anaknya sudah menikah yang diartikan sudah laku membuat beban kehidupan sebagai orang tua seakan terhapus begitu saja.
Serta dorongan untuk melakukan pernikahan dini dari diri remaja sendiri juga merupakan faktor yang kadang tidak bisa ditolak bagi orang tua. Usia hubungan berpacaran yang telah bertahun-tahun membuat orang tua juga mendukung keinginan anaknya untuk melakukan pernikahan dini agar tidak melakukan zina.