Lihat ke Halaman Asli

Imamku, Adik Kelasku

Diperbarui: 12 Januari 2017   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Imamku, Adik Kelasku

 

Serupa hujan yang tiba-tiba turun memeceh siang. Terik yang menyengat itu, kemudian berubah menjadi sejuk yang menenangkan. Bau asap dan debu beterbangan, seketika berganti aroma tanah basah yang menyejukkan. Dan begitulah, kisah ini kunamai; hujan tanpa mendung yang mendahului. 

Namanya Dani. Adik kelasku ketika masih duduk di bangku SMA. Tak banyak yang kuingat dari sosok lelaki yang saat ini tengah duduk di antara kedua orang tuaku. Entahlah, mimpi apa yang membuat Dani kemudian nekat membulatkan niat untuk mengkhitbahku? 

"Apakah, Nak Dani sudah yakin dengan niat Nak Dani mengkhitbah Nduk Vi?" Dari balik gorden berwarna ungu yang membatasi ruang tamu, kudengar bapak mulai meminta kepastian dari pemuda yang usianya dua tahun lebih muda dariku.

Sesaat hening. Hanya suara detak jarum jam yang semakin membuat perasaanku tak karuan. 

"Demi kewajiban kepada Rabb-ku, insya Allah saya sudah yakin, Pak." Semburat merah semakin menguasai kedua pipi. Diikuti suara debar di dalam dada, serupa gemuruh anak-anak ombak yang menghantam karang. 

Semua berawal tiga hari yang lalu. Entahlah, apakah ini adalah rencana Tuhan untukku? Untuk kami.

"Maaf, bukan aku meragukan keseriusanmu. Tapi sungguh, aku adalah perempuan yang mungkin lebih pantas menjadi kakakmu. Bukan—"

"Allah tidak pernah membedakan umur dalam memberikan cinta kepada umatnya. Karena sesungguhnya cinta adalah melengkapi. Menyempurnakan kekurangan. Bukan menuntut untuk sebuah kesempurnaan. Aku sudah cukup lama mengenalmu. Bahkan jika engkau sudi percaya, perasaan ini telah kusimpan sejak pertama kali melihatmu di MOS saat SMA dulu. Memang aneh bukan? Namun inilah cinta. Tak ada yang mustahil untuk kehendak-Nya. Bersediakah, engkau menjadi kekasih halalku?" Sepasang mata itu menatapku, tatapan yang begitu dalam; tentang sebuah rasa, keseriusan, pengakuan, kejujuran bahkan kepasrahan. 

Aku mendesah pelan. Tak ada yang salah dengan tiap jawaban yang ia uraikan. "Baiklah. Jika memang engkau sudah yakin atasku, datanglah ke rumah. Temui orang tuaku. Sebab biar bagaimana pun, mereka lebih berhak atasku saat ini." Ujung bibirnya tertarik ke atas, tersenyum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline