Lihat ke Halaman Asli

Nafi'ah

Diperbarui: 1 Januari 2017   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

NAFI'AH

Nafi'ah terus berlari, mengabaikan deras keringat yang menghujani badan. Ia hanya tahu, langit sedang bermurah hati. Semoga hujan akan segera datang, doanya. 

Sesekali bocah sepuluh tahun itu mendongak  ke arah langit yang pekat, seolah melihat sesuatu. Tersenyum. Setetes butiran bening membelah pipi, buru-buru ia seka. 

Sejenak menghentikan langkah. Aku harus kuat, gumam Nafi'ah. Tiba-tiba bayangan ayah ibunya memenuhi seluruh pandangan. Andai Tsunami tidak merenggut keluarganya, tentu saat ini ia bisa sekolah. Tidak harus menjadi penjaja payung atau pengemis. Mungkin akan jauh lebih baik ketika dulu ia harus ikut mati bersama keluarga. 

Nafi'ah menyeka sisa basah di kedua matanya. Kembali berlari.

Malam nanti adalah pergantian tahun. Jika hujan, maka akan cukup banyak rupiah yang bisa ia bawa pulang. Bibi Anna tidak perlu menyambutnya dengan hadiah rotan jika ia membawa uang. Dengan sisa-sisa tenaga, Nafi'ah memompa semangatnya untuk terus berlari. 

Tuhan benar-benar sedang bermurah hati. Sesampai Nafi'ah di halaman mall besar pinggiran kota, hujan menumpah dengan derasnya. Segera dibuka kancing payung lusuh miliknya, dan mulai menjajakan. 

Siang berganti petang. Hingga hari sempurna malam. Nafi'ah mulai kedinginan. Perutnya juga sudah kelaparan. Sepotong roti yang ia selipkan di saku celana, sudah sangat dingin dan agak mengeras. Dilahapnya untuk mengganjal. 

Tepat pukul sembilan malam, senyum Nafi'ah mengembang menghitung lembaran-lembaran rupiah di dalam bungkus plastik miliknya. Ia yakin, malam ini tidak ada pukulan rotan lagi. Nafi'ah pun memutuskan untuk segera pulang. 

Hujan sudah mulai reda. Suara-suara klakson memenuhi sudut-sudut jalanan kota. Diikuti bunyi terompet mengudara. Nafi'ah menghela napas. Ia sudah lupa, kapan terakhir merayakan malam tahun baru bersama keluarga. 

Hampir pukul 12 malam. Di sebuah gang kecil yang remang. Nafi'ah menghentikan langkah. Menggenggam bungkusan uangnya rapat-rapat. Di bawah tiang lampu, sekelompok pemuda sedang pesta minum di sana. Nafi'ah tak punya pilihan lain, selain melewati mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline