Lihat ke Halaman Asli

Cintaku Kejedot Restu

Diperbarui: 11 Maret 2016   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

; memaknai perpisahan 

Perpisahan bukan sekadar tentang seberapa besar kesedihan atas sebuah kehilangan. Atau seberapa banyak hujan-hujan yang diam-diam menembus sudut mata. Meski tak dapat kupungkiri betapa ngilu seisi dada, saat segala tentangmu..., serupa anak-anak angin yang menyusup pada celah-celah sepi dalam ruang hati. Membuatku kembali gigil, terperangkap oleh rindu yang yatim. Ya, begitulah rinduku tanpamu. 

Namun apakah hanya berujung pada kebencian, kesedihan, atas perpisahan yang sejatinya tidak pernah kita inginkan? 

Aku pernah bilang padamu, cinta adalah anugerah. Ianya bukan sesuatu yang bisa kita paksa ada, dengan siapa, di mana, dan dengan cara bagaimana. Sebab di situlah indahnya cinta. Tuhan selalu mempunyai cara menghadirkan cinta dengan cara-Nya. Begitu pun dengan kita.

Aku cukup sadar, atas segala aral yang pada akhirnya membuat kita terpaksa sudah. Membuat kita belajar membuka mata, bahwa tak selalu cinta yang kita harap sepenuh doa, adalah cinta yang mereka minta. Mereka siapa? Engkau pernah dengar bukan, bahwa restu Tuhan ada pada restu orang tua? Dan cinta sejati tak pernah mengajarkan durhaka kepada mereka. Sebab kita berhutang surga di keduanya.

Namun haruskah, semua yang sudah kita awali dengan baik harus berakhir dengan ketidakbaikan? Bukankah silaturahmi tak sebatas saat aku bersamamu, atau ketika kita adalah kita? 

Mungkin benar, kitalah hati yang paling patah. Kitalah hati yang paling pasrah. Saat pinta mereka tak sebatas perintah, namun ialah amanah. Atau kita sederhanakan saja, bahwa Tuhan belum menggariskan takdir atas kita. 

Lalu apa setelah perpisahan ini? Setelah hari-hari yang berbeda, hari-hari yang akan lebih disesaki oleh kenangan, oleh sisa-sisa harapan, serta semoga-semoga yang hanya terhenti di dalam doa? Aku tidak tahu. Sungguh! Dengan jujur kukatakan, kehilanganmu..., aku serupa puisi tanpa ibu. 

Aku masih ingat balasan chat-mu kala itu. Saat aku tak mampu lagi menahan sesak karena diammu. Sebuah jawaban kau kirim sebagai penjelasan; 'Aku hanya tak ingin kamu terlalu berharap padaku, Nduk. Itu saja!'

Setidaknya diam dan tak acuh bukanlah ending yang baik untuk sesuatu yang pernah baik. 

 

#Vee, 11 Maret 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline