Bab 10: Mulai Bergerak
"Pak Tohir kenapa di sini?"
"Aku yang seharusnya tanya, itu kaki mulusmu kenapa?" Pak Tohir mengerutkan dahi.
"Panjang ceritanya, Pak. Ngomong-ngomong Bapak mau pulang? Boleh saya nebeng mobilnya?" tanyaku memelas supaya diperbolehkan Pak Tohir.
"Ya, sudah ayok. Bisa jalan."
"Bisa, Pak."
Mungkin tanpa aku meminta pun Pak Tohir akan menawarkan mobilnya. Meski sedikit genit, aku tahu Pak Tohir itu sebenarnya enggak tega melihat orang lain sengsara. Diam-diam tak sengaja aku sering melihat beliau bagi-bagi makanan ke tetangga sekitar yang kurang mampu dengan tangannya sendiri. Pepatah lama yang menyatakan 'jangan lihat isi dari kovernya' itu ada betulnya.
Di tengah jalan pulang, dari dalam mobil tampak Mas Walid. Dia seperti mencari seseorang. Sekilas wajahnya tampak khawatir. Apakah dia mengkhawatirkanku? Tidak, tidak mungkin. Tadi saja dia marah. Sudahlah. Saat ini mungkin lebih baik menyendiri dulu. Aku dan Mas Walid butuh waktu sendiri untuk kemudian menjelaskan dengan hati yang sudah dingin dan tenang.
"Kalian ada masalah?" tanya Pak Tohir tiba-tiba.
"Enggak, Pak." Lebih baik aku menyembunyikan sedihku.
"Tampak jelas di wajahmu itu. Mulutmu bisa bohong, tapi raut wajahmu tidak."