Bab 4: Tampan yang Baik Hati
Mas Tresno sepertinya sedikit terkejut. Namun, beberapa detik terlewati senyum sempurna timbul dari wajahnya.
"Boleh banget kalau Mbak. Kebetulan saya lagi butuh karyawan. Tapi, Mbak Yati enggak masalah kalau gajinya enggak seberapa?"
"Yang penting bisa menyambung hidup, Mas. Demi bertemu dengan anak saya."
Mendengar perkataanku barusan Mas Tresno sepertinya kembali terkejut. Dahinya berkerut dan alisnya menyatu. Aku paham dengan situasi ini. Sebelum Mas Tresno bertanya, kujelaskan alasanku pergi ke kota ini, Aisyah.
"Semoga secepatnya bisa bertemu dengan anak, ya, Mbak. Kalau ada apa-apa jangan sungkan minta tolong saya saja."
"Oh, ya. Mbak Yati mau minum apa? Sampai lupa enggak nawarin minuman tadi," lanjutnya sembari menampakkan barisan gigi-giginya yang putih.
"Ndak usah, Mas. Saya pamit saja kalau begitu. Enggak enak lama-lama." Aku sungkan duduk di rumah yang dihuni Mas Tresno sendiri. Apa kata tetangga nanti. Eh, iya aku baru ingat. Ini, kan, di kota bukan desa yang kalau ada sedikit saja masalah tetangga pasti gosipnya segera menyebar dan heboh. Akan tetapi, meski bagaimanapun tak baik dua orang lawan jenis di dalam rumah berlama-lama.
"Oke kalau begitu Mbak Yati bisa mulai kerja besok. Kebetulan hari ini bahan-bahannya tinggal sedikit, jadi saya jualan hanya menghabiskan sisa bahan yang ada. Bagaimana?"
"Beneran, Mas besok saya bisa langsung kerja?"