Lihat ke Halaman Asli

Moh Zahirul Alim

Pemerhati sosial, politik, pendidikan sekaligus pemilik blog www.paradigmabintang.com

Merefleksikan Empat Tahun Merdeka Belajar

Diperbarui: 22 Mei 2023   11:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kemdikbud.go.id

Kebijakan Merdeka Belajar dengan segala program turunannya sudah berjalan kurang lebih empat tahunan. Dalam pada itu, tentu ada hal-hal positif yang telah ditimbulkan bagi dunia pendidikan Indonesia dengan adanya Merdeka Belajar. Tulisan ini akan mencoba merefleksikan Merdeka Belajar dengan pengalaman empiris yang pernah saya lalui jauh sebelum Merdeka Belajar digaungkan oleh Kemendikbudristek pimpinan Nadiem Makarim.

Saya ingin mengatakan bahwa saya puas dengan segala gebrakan pendidikan yang telah dilakukan Nadiem. Setidaknya, ia telah mengeksekusi idealisme saya tentang bagaimana semestinya pendidikan Indonesia dikelola dan didorong ke arah kemajuan. Merdeka Belajar sejatinya sebuah terobosan spektakuler, meski memang harus diakui ide tersebut bukan ide baru yang murni digagas Nadiem. Ia hanya mempopulerkan ide tersebut dan menjadikannya sebagai program nasional. Sebagai informasi, Merdeka Belajar pada dasarnya adalah ide serta gagasan yang pernah ada di era Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Mendikbud era awal kemerdekaan. Dan pihak swasta seperti Sekolah Cikal mengadopsinya menjadi ide bisnis dengan nama serupa. Namun, apa pun itu, saya tetap mengapresiasi langkah baik Nadiem dalam mentranformasi pendidikan Indonesia menjadi lebih ideal.

Bangsa Indonesia sepatutnya bersukur dengan segala yang telah dilakukan Nadiem dengan kebijakan Merdeka Belajarnya. Meski memang masih ada kekurangan yang perlu disempurnakan. Namun, hal tersebut tidak menutupi betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari Merdeka Belajar yang telah dirintis Nadiem. Mari kita objektif menilai kebijakan Merdeka Belajar, apakah benar-benar memerdekakan dan memanusiakan anak bangsa Indonesia? Jawabannya iya. Setidaknya, Merdeka Belajar sudah mengarah ke sana. Kita bisa menyaksikan dengan saksama anak-anak Indonesia saat ini diajak untuk bebas mempelajari apa saja yang mereka minati dengan riang gembira dan penuh suka cita.

Anak-anak juga sudah dimerdekakan dari belenggu Ujian Nasional (UN) yang tidak efektif meningkatkan derajat literasi dan numerasi pelajar Indonesia di kancah dunia. Yang terjadi justru kontraproduktif, UN membuat anak-anak tidak happy, terbebani dan daya saing pelajar Indonesia jika dilihat dari standar internasional mentok di situ-situ aja. Merdeka Belajar merevolusi semua itu, murid dan guru diberi kemerdekaan yang seluas-luasnya. Urusan asesmen atau evaluasi pencapaian belajar siswa sepenuhnya menjadi wewenang guru yang mendidik, bukan lagi ditentukan oleh rutinitas tahunan Kemendikbudristek dengan mengadakan UN yang memakan angggaran besar dan sarat kontroversi serta penyimpangan. Sampai di sini, menurut saya, Merdeka Belajar sukses mengubah kultur pendidikan Indonesia selangkah lebih keren. Guru yang mengajar langsung di kelas benar-benar diberikan otoritas penuh untuk mengevaluasi pencapaian belajar murid yang didiknya.

Melihat apa yang sedang berlangsung dalam dunia pendidikan nasional saat ini, sesungguhnya saya merasa de javu. Saya seperti pernah mengalaminya meski waktu dan dimensinya berbeda. Namun, substansinya sama. Merdeka Belajar yang pernah saya alami lingkupnya swasta dan lokal. Dikatakan demikian karena saya adalah hasil produk kurikulum nonpemerintah yang hingga saat ini masih bertahan. Pada masa saya mengenyam pendidikan sekolah, saya sudah diajarkan pentingnya kebebasan mempelajari sesuatu sesuai dengan bakat minat dan kecenderungan. Bahkan dari jenjang SMP-pun saya dan teman-teman pada waktu itu, sudah dibebaskan mempelajari apa pun sesuai minat. Jadi, saya sudah terbiasa memilih sesuatu sesuai dengan kencenderungan dan menjalankannya dengan gembira serta penuh tanggung jawab. Sebagai contoh, saat saya masih siswa SMP saya sudah memiliki kebebasan untuk belajar menulis serta bahasa asing dan sekolah saya memfasilitasi hal tersebut.

Lebih lanjut, semasa saya sekolah belasan tahun yang lalu, sekolah saya tidak mengikuti ujian nasional karena kurikulum yang dipakai adalah kurikulum mandiri bukan kurikulum nasional seperti KBK, KTSP dan K13.  Praktik baiknya, evaluasi belajar siswa serta kelulusan murni dilakukan oleh guru-guru yang mengajar langsung di kelas. Meski begitu, tidak ada kecurangan selama proses ujian karena bagi yang terbukti curang benar-benar dikenakan sanksi yang sangat tegas. Sanksinya sangat edukatif berupa shock teraphy seperti siswa pelanggar wajib membacakan surat pernyataan bersalah dan berjanji di depan warga sekolah untuk tidak mengulangi pelanggaran, digunduli, skorsing, dan mengulang ujian dengan soal berbeda.

Jadi, hasil ujian yang diperoleh saya dan teman-teman waktu itu benar-benar mencerminkan hasil kerja keras yang sesungguhnya. Jika mendapat nilai sembilan memang benaran layak mendapat sembilan bukan karena menyontek dan lainnya. Dan jika mendapat nilai lima memang beneran nilainya lima sesuai dengan kemampuan menjawab soal ujian. Dan saya tidak memilikii ijazah SMP-SMA dengan transkrip nilai UN. Ijazah dan transkrip saya dari SMP-SMA pun terbitan sekolah, tidak berlambang garuda karena bukan ijazah dan transkrip terbitan pemerintah, namun, istimewanya negara mengakui legalitas ijazah dan transkrip yang dikeluarkan oleh sekolah saya tersebut.

Apa yang saya rasakan selama enam tahun mengenyam pendidikan sekolah menengah dan atas dengan kurikulum nonpemerintah cukup berdampak terhadap kehidupan saya berikutnya khususnya saat saya mengenyam pendidikan tinggi dan setelahnya. Saya terbiasa mandiri, kritis, bertanggung jawab dengan pilihan sendiri, bersikap apa adanya, serta mengedepankan proses dan jerih payah. Dengan merefleksikan pengalaman saya ditempa dengan iklim pendidikan yang mirip dengan kebijakan Merdeka Belajar yang digagas oleh Mendikbusristek Nadiem saya optimis masa depan pendidikan Indonesia cerah. 

Anak-anak Indonesia menjadi unggul karena mereka mereka sudah diberi kemerdekaan menentukan masa depan dengan mempelajari apa yang mereka sukai tanpa paksaan. Dan menariknya, negara benar-benar memfasilitasi hal tersebut. Anak-anak Indonesia juga tidak saja akan unggul dalam hal kognitif dan keterampilan. Mereka juga akan unggul secara emosional, karakter, dan spiritual. Hal ini karena pemerintah menyertakan profil pelajar Pancasila dalam program Merdeka Belajar. Sederhananya, pendidikan Indonesia di tangan Nadiem sudah berada di jalur yang benar. Memang demikianlah, praktik pendidikan Indonesia semestinya diwujudkan. Jangan hiraukan pihak-pihak yang menolak terjadinya revolusi pendidikan Indonesia! Bersamaan dengan momentum Hardiknas 2023, saya berharap Merdeka Belajar terus bergerak memajukan pendidikan nasional. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline