Di antara sekian kisah perjalanan hidup saya yang menarik untuk dibagikan adalah pengalaman mogok laut. Serupa dengan mogok di darat, mogok laut adalah sesuatu yang lazim terjadi jika kita hidup di wilayah kepulauan. Hal ini karena moda transportasi antarpulau yang dipakai adalah kapal, perahu kecil (pompong), speedboat, sampan.
Saat setahun menjadi warga pulau di perbatasan negeri, saya pernah mengalami lima kali mogok laut. Semuanya sangat menantang, yang ditantang adalah nyawa dan pertaruhan hidup mati. Pengalaman empat kali mogok laut adalah drama ekstrem dalam episode kehidupan saya yang penuh kenangan itu.
Dikatakan demikian karena mogok di tengah lautan dengan segala kondisinya sungguh sangatlah tidak nyaman, badan terombang-ambing ombak, pikiran sudah pasti tak menentu, timbul rasa pening dan mual sebagai akibat dari goncangan ombak yang menghantam badan perahu ke kanan dan ke kiri. Dalam kondisi seperti itu, tetap bersikap tenang, tidak panik adalah suatu keniscayaan agar solusi segera datang.
Pengalaman pertama saya mogok laut adalah ketika perjalanan pulang dari Kecamatan Subi menuju Desa Pulau Kerdau. Hari itu, hari Minggu pagi ketika saya memutuskan harus segera pulang dari kegiatan berkunjung ke Kecamatan Subi. Sekitar pukul 06.00 pagi saya bersama pemilik pompong dan keluarganya mulai meninggalkan pelabuhan Subi menuju pulau sebrang. Durasi perjalanan biasanya memakai waktu tempuh 2-3 jam. Drama terjadi ketika pompong yang baru berjalan sekitar 15 menit tiba-tiba menabrak karang dan mesin mati. Alhasil, pompong pun mogok.
Saya yang tidak mengerti apa-apa hanya mencoba bersikap tenang, sementara pemilik pompong sibuk memperbaiki bagian mesin yang dianggap rusak serta memeriksa badan pompong yang membentur karang. Upaya ini ternyata tidak cukup berhasil hingga air laut pun surut sehingga pompong dipastikan tidak dapat berjalan.
Dalam kondisi demikian, saya bersama rombongan terdampar di tengah lautan yang sedang surut, dan hal ini berlangsung sampai sore hari, sekitar pukul 15.30an.
Setengah hari saya terdampar di atas karang, selama itu juga saya merasakan drama perjalanan laut yang terjadi di luar dugaan, kepanasan, pakaian basah, ikut bantu mendorong pompong, dan harus bertahan seadanya.
Pertolongan Yang di atas pun perlahan datang, air mulai pasang, dan mesin pompong berhasil diperbaiki. Sore itu, saya berhasil pulang dan berlabuh di Pulau Panjang ikut pemilik pompong yang tinggal di pulau tersebut. Benar-benar pengalaman mogok laut yang membekas.
Pengalaman mogok laut kedua adalah saat pulang mengantarkan dua anak murid saya mengikuti seleksi akademik Beasiswa Ekselensia. Berangkat pagi hari dari Pulau Kerdau sekitar pukul 07.00 dan pulang siang hari dari Pulau Panjang sekitar pukul 12.30. Awalnya tes seleksi direncanakan akan diselenggarakan di Batam.
Namun tidak jadi karena kendala akses. Jadi, panitia memutuskan bahwa tes dilaksanakan di SMP Pulau Panjang, alias di tempat yang netral dengan pengawas yang juga netral. Nah, sepulang dari pulau tetangga inilah kejutan laut terjadi. Di luar dugaan, saat pompong yang kami naiki sudah separuh jalan tiba-tiba saja mengalami mogok.
Mesin pompong macet, dan akibatnya kami pun terombang-ambing di tengah laut Kerdau-Pulau Panjang. Awalnya, pengendara pompong mencoba memperbaiki mesin, berharap masih ada harapan mesin mau hidup lagi dan meneruskan perjalanan.