Lihat ke Halaman Asli

ZAHIRAH KARAMATULLAH

Mahasiswa Universitas Indonesia

Normalisasi Hubungan Uni Emirat Arab dengan Israel

Diperbarui: 16 Oktober 2022   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uni Emirat Arab dan Israel (Sumber: CNN Indonesia)

Seperti yang kita ketahui, negara-negara Arab memiliki batasan hubungan dengan Israel. Hal ini dikarenakan perbedaan ideologi antara Islam dan Yahudi serta sejarah kolonialisme yang menjadikan pemetaan konflik antara Islam dan Yahudi di Timur Tengah dan masih menjadi persoalan hingga saat ini. Negara-negara Arab tersebut sebagian besar bergabung dengan organisasi regional, yaitu Liga Arab. Tujuan didirikannya Liga Arab adalah bersama dalam membangun kerja sama baik dalam bidang politik, ekonomi dan militer, serta  berjuang melawan negara Yahudi di Palestina dan berbagai tujuan lainnya.

Berbagai macam upaya perdamaian telah dilakukan dalam perjalanan konflik yang cukup panjang ini seperti diadakan kesepakatan Oslo pada tahun 1993 yakni perjanjian untuk kemerdekaan Palestina, kesepakatan ini merupakan pertama kalinya Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) secara resmi mengakui keberadaan negara mereka masing-masing, tetapi Israel mengingkari perjanjian ini. Selama puluhan tahun, negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab ini masih memegang teguh untuk menutup hubungan mereka dari Israel, meskipun ada beberapa negara Arab seperti Mesir dan Yordania yang pada akhirnya melakukan perdamaian dengan Israel. Tetapi tindakan kedua negara tersebut, masih dapat meredam normalisasi, karena hubungan Mesir, Yordania dengan Israel juga sering kali tegang dengan adanya krisis di sekitar Al-Aqsa. 

Pada akhir 2020, Terdapat hal yang membuat dinamika hubungan antara Israel dengan negara-negara Arab bergejolak yakni Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko telah memaklumatkan untuk melakukan normalisasi hubungan mereka secara diplomatik dengan Israel. Muhammad (2020) mengatakan, Uni Emirat Arab melakukan normalisasi hubungannya dengan Israel pada tanggal 13 Agustus 2020 (dalam Rimapradesi & Sahide, 2021:69). Israel diwakili oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Uni Emirat Arab yang diwakili oleh Presiden Khalifa bin Zayed Al Nahyan. Kesepakatan baru ini bernama "Perjanjian Abraham" (Abraham Agreement) yang telah diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, ia menyatakan bahwa adanya normalisasi yang ditengahi oleh AS ini merupakan kesepakatan terhebat di dunia. Kalman (2020) mengatakan perjanjian yang disebut "Abraham Accords" telah ditandatangani di atas kertas antara UEA, Bahrain dengan Israel di Washington (dalam Wicaksono, 2020:133).  

Kesepakatan antara kedua negara yakni UEA dengan Israel memiliki beberapa aspek utama, pertama UEA dan Israel setuju terhadap pembangunan ekonomi dan diplomatik bilateral penuh, atau disebut dengan "normalisasi". Perjanjian bilateral ini dilakukan dalam bidang investasi, penerbangan langsung, pariwisata, keamanan, kedutaan, dan lain-lain. Kedua, Israel, AS, dan UEA akan merancang sebuah agenda strategis untuk Timur Tengah yang bertujuan memperluas kerjasama diplomatik, perdagangan dan keamanan. Ketiga, Israel akan lebih berfokus pada normalisasi dengan menunda rencana untuk melakukan ekspansi ke bagian Tepi Barat. Keempat, Israel memberikan hak warga UEA untuk mengunjungi dan berdoa di masjid Al Aqsa di Yerusalem Timur (Haaretz, 2020, dalam Wicaksono, 2020:133).

Kesepakatan-kesepakatan di atas terjadi bukan tanpa alasan. Adanya kepentingan politik antara UEA dan Israel. Seperti pertemuan rahasia antara Perdana Menteri Israel Netanyahu dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed al-Nahyan terjadi pada bulan September 2012, dimana pertemuan tersebut dilakukan untuk kepentingan bersama kedua negara dalam menggagalkan rencana nuklir iran. Kerjasama bilateral lainnya antara UEA dengan Israel terlihat pada bidang keamanan (cyber security) dan alat-alat intelijen yang mencapai $ 3 miliar USD (Barakat, 2020 dalam Wicaksono, 2020: 138). Lalu pada 2020, surat kabar Aljazeera mengatakan, bahwa kerjasama semakin meningkat pada sektor ekonomi dan kesehatan. Pada bulan Mei, Etihad Airways, perusahaan penerbangan milik UEA melakukan penerbangan pertama kalinya ke Tel Aviv, dengan bantuan medis COVIS-19 yang rencananya akan dikirimkan ke Palestina melalui Israel (dalam Wicaksono, 2020:138).

Adanya normalisasi yang dilakukan oleh UEA dengan Israel mendapat dukungan dari beberapa negara. Negara-negara yang mendukung adanya normalisasi ini adalah Mesir, Yordania, Sudan, Inggris, Bahrain, dan Prancis. Menurut Presiden Mesir Abdel Fattah El Sisi, dengan adanya normalisasi diharapkan dapat mengambil langkah-langkah dalam perdamaian di Timur tengah. Yordania juga mengatakan normalisasi yang dilakukan UEA dengan Israel dapat mendorong negosiasi perdamaian antara Israel dengan Palestina.

Sebaliknya, beberapa negara merespon normalisasi ini dengan amarah serta kekecewaan terhadap UEA. Kesepakatan antara Israel dengan UEA memberikan keterlibatan bagi masa depan Palestina. Presiden Negara Palestina, Mahmoud Abbas merasa terpukul dengan normalisasi tersebut. Di Masa akhir pemerintahannya, sangat memungkinkan adanya kandidat yang sengaja menggagalkan kemerdekaan Palestina melalui politik, yang diduga ialah Mohammed Dahlan yang mendapat dukungan dari UEA (Michael & Dekel, 2020 dalam Wicaksono, 2020: 143). Palestina tidak tinggal diam, ia meminta kepada Liga Arab untuk membuat rancangan Komunike mengenai pembatalan kesepakatan normalisasi antara UAE dan Israel (Republika, 2020 dalam Wicaksono, 2020: 143)

Hal ini dirasakan oleh negara Qatar, atas kekecewaannya negara Qatar meningkatkan rasa simpati terhadap Palestina dengan mendistribusikan bantuan bulanan sebesar $30 juta USD kepada penduduk Gaza dan mempromosikan Khaled Mashal sebagai pemimpin Hamas (AFP, 2020 dalam Wicaksono, 2020: 145). Turki juga ikut dalam andil  memperkuat kekuatan militer Hamas (TRT World, 2020 dalam Wicaksono, 2020: 145).  Kekecewaan serta amarah juga dirasakan oleh sejumlah partai politik di Aljazair dan kelompok masyarakat sipil, yang menyatakan adanya normalisasi UEA dengan Israel merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina (MEPEI, 2020 dalam Wicaksono, 2020: 145). Pendekatan politik pada ketiga negara adalah bentuk perlawanannya terhadap normalisasi hubungan UEA dengan Israel. 

Amarah juga dirasakan oleh pemerintahan negara Iran. Normalisasi ini dinilai  telah mengkhianati Muslim. Menteri Luar Negeri Iran, Mohammed Javad Zarif mengatakan bahwa UEA kini telah bekerja sama dalam "kejahatan Israel", beliau menambahkan bahwa tindakan UEA dapat mengancam keamanan kawasan dan dunia Islam. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran, Mayjen Mohammad Baqeri juga mengatakan bahwa, apabila terjadi sesuatu di Teluk Persia dan keamanan nasional Iran terancam, maka Iran akan menyalahkan UEA atas tindakan normalisasi tersebut dan tidak akan mentolerirnya (BBC, 2020 dalam Wicaksono, 2020:  146)

Terlepas dari respon negara-negara lain, baik yang mendukung atau tidak. Adanya normalisasi yang dilakukan UEA dengan Israel belum tentu keberpihakan terhadap Israel semakin kuat. Disisi lain, bukan jaminan juga bahwa UEA akan mengakomodasi kepentingan Palestina. Faktor utama yang membuat UEA melakukan normalisasi dengan Israel adalah faktor keamanan  dimana UEA memandang Iran menjadi ancaman yang semakin nyata. Selain itu, kerjasama UEA dengan Israel dalam perekonomian juga diharapkan dapat memacu pertumbuhan yang melemah karena COVID-19. Namun, posisi UEA terhadap Palestina masih konsisten dengan solusi dua negara serta meluruskan bahwa adanya normalisasi ini ditunjukkan sebagai upaya UEA dalam menahan perluasan wilayah yang dilakukan oleh Israel. 

Referensi:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline