Dosen Retorika Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dakwah dan retorika sebagai ilmu harus bebas dalam menilai. Maksudnya yaitu, ilmu dakwah dan ilmu retorika harus dikembangkan semata berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Keduanya tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan lain dari luar ilmu pengetahuan seperti adab.
Akan tetapi, dalam ilmu dakwah dan ilmu retorika terdapat adab. Sehingga, meskipun kedua ilmu tersebut bebas nilai, tetap harus mempertimbangkan kebenaran dan implikasi yang terjadi. Dapat dipahami bahwa, ilmu dakwah dan ilmu retorika terikat dengan adab yang bersumber dari budaya dan ajaran agama.
Alhasil adab dan ilmu dalam rerorika dakwah harus dipadukan. Dalam konteks ini berlaku adagium "ilmu bukan untuk ilmu", tapi ilmu untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, ilmu itu untuk kemanusiaan. Dalam konteks inilah pentingnya keberadaan adab..
Secara praktis, retorika dakwah itu dapat dipahami bukan hanya sekedar ilmu dakwah secara efektif, efisien, menarik dan budi pekerti. Terlebih dakwah pada saat awal-awal itu cukup subjectif, dogmatik, penuh nilai
Retorika ketika lahir dari rahim budaya, merangkal jadi seni tutur, tumbuh jadi pengetahuan, dan diakui secara permanen diakui sebagai ilmu pengetahuan, pada titik inilah retorika dikaitkan dengan adab. Budaya, seni, pengetahuan dan ilmu manusia harus selalu didampingi adab.
Begitu juga dengan dakwah. Berawal dari dogma atau ajaran agama, lalu jadi pengetahuan berdasar pengalaman yang belum teruji secara ilmiah, lalu mwnjadi jadi ilmu dakwah tentu juga harus didampingi adab. Seorang dai melekat kesopanan, keramahan, dan budi pekerti dalam berdakwah
Menyatukan adab dengan ilmu dalam retorika dakwah meniscayakan dua hal. Pertama, tergusurya komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah menjadikan dakwah sebagai komoditas atau barang dagangan. Selama ini komodifikasi dakwah berlidanndung di bawah payung profesioalisme manajemen. Dai yang berilmu dan beradab menolak komodifikasi dakwah.
Dilarang keras bagi dai dan partner dakwahnya membisniskan dakwah. Namun dai dan mitra dakwah boleh mendakwahkan bisnis karena Nabi, para sababat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menghidupkan dakwah bukan menggantungkan hidup dari berdakwah.
Kedua, menggabungkan ilmu adab dan ilmu dalam retorika dakwah akan menghantarkan dai menjadi profesional dalam pengertian yang sebenarnya. Arti profesional itu bukan terkenal, memiliki manajer, dan harus dibayar, tetapi memiliki adab dan ilmu dalam beretorika dan berdakwah.
Arti profesional itu bukan tidak memiliki pekerjaan sebagai dai. Dai boleh bekerja menjadi apa saja tanpa menanggalkan hal profesionalisme. Sebab makna dai profesional dalam konteks ini adalah menghayati sepenuh hati yang dikatakan dan mengamalkannya berdasar ilmu dan adab.