Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Rasanya?

Diperbarui: 30 Agustus 2017   11:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 11 malam, saya menulis ini karena saya merasa hina. Tak ada yang lebih menyakitkan ketika dirimu mampu mengobati rasa sakit seseorang, tapi kamu sendiri merasa butuh diobati. Kamu mampu membuat orang lain tidak memikirkan patah hatinya, tapi kamu sendiri masih terus merasakannya meski berulang kali terus mencoba lupa. Saya merasa hina. Saya merasa hina, saya merasa hina.

 Hina karena saya tidak mampu mengobati diri saya sendiri, hina karena saya tidak bisa menceritakan semua yang saya alami, saya hanya bisa menuliskannya dalam bentuk-bentuk abstrak berharap orang-orang latah yang hidupnya hapalan menangkap maksud saya. Kehinaan itu membuat saya selalu berpikir kenapa saya sampai sekarang masih hidup penuh siksa.

Kamu mungkin punya banyak pelarian, pelarian yang membuatmu merasa nyaman dan aman. Saya lupa, saya ini apa, mereka lupa, mereka alpa, mereka tidak peduli, siapa orang yang menemani mereka, selalu berlagak dan berperan menjadi orang baik untuk mengobati dan menyembuhkan luka hatinya, padahal di dalam diri berusaha meredam rasa sakit yang teramat dalam.

Apa yang bisa saya lakukan selain bermain-main dengan pikiran saya sendiri, sejujurnya saya membenci diri saya sendiri, melihat orang-orang bahagia dalam kesemuan yang terus-menerus diciptakan tanpa pandang bulu, berpura-pura. Menjadi bahagia padahal di dalam dirinya menyembunyikan perasaan yang lain. Saya benci situasi ini, saya berniat untuk tidak menemui siapa-siapa lagi, bahkan setelah ini.

Kesalahannya, saya terlalu peka untuk mendengarkan orang lain, saya terlalu mau menyembuhkan orang lain. Padahal saya pun tahu akhirnya akan seperti apa. Saya ini hina, untuk apa pada akhirnya saya terus diinjak, dilupakan, tidak lagi berjejak. Berjarak pada mereka semua yang jelas-jelas meminta untuk mendekat. Pelukan orang-orang itu tidak pernah ada guna, jika pelukan itu tidak menyentuh inti jiwamu

Saya sekarat, meski saya harus jujur, hanya media ini yang mampu menyelamatkan saya dari kematian, menyelamatkan saya dari percobaan bunuh diri sekali pun. Saya ini apa, hinakah saya menulis ini dan orang menganggap bahwa saya perlu dikasihani? BANGSAT!

Bahkan saya sudah merdeka sebelum kalian datang, sesudah kalian pergi. Tak sadarkah kalian? Kemerdekaan saya direnggut tanpa ampun. Terbelunggu sendiri. Bagaimana rasanya? Harus terus-menerus merasa seolah tak terjadi apa-apa. Orang yang menulis dua novel itu bukan saya. Itu saya yang sedang waras---sedang sehat. Lupakan saya, bahkan kematian saya pun tak ada yang ingin datang.

Biarkan saya terus-menerus menanam luka sendiri, mengingat setiap kenangan yang tak mengenakan, ini lebih dari patah hati, lebih dari sakit hati. Bahkan saya merasa tak lagi punya hati, pikiran saya mati, tubuh yang kecil ini, akan terus merasa kecil. Tidak ada lagi obat, saya telah mati bahkan sebelum kalian sadar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline