Lihat ke Halaman Asli

Kisah Kedua

Diperbarui: 30 Agustus 2016   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aroma tubuh Alfa masih tercium bahkan saat Alfa telah berada di dalam kereta. Sekali lagi Ratih harus menerima kenyataan yang tak pernah di harapkan. Kesalahan dia perbuat lagi, menunggu seseorang yang pada akhirnya telah bersama pasangan hidupnya dan seorang anak. Hal yang tak pasti memang lebih menakutkan sehingga kita melupakan hal-hal pasti yang pada akhirnya bukan milik kita.

Jeans biru muda dan blus putih serta sepatu kets yang membuat Ratih tampak cantik berubah jadi badai haru karena muka yang berubah layu. Rambut pirang yang dikuncir terlihat melemas seiring tubrukan rasa dalam hatinya. Kereta yang dinaiki Alfa telah berangkat menuju Malang setengah jam yang lalu. Ratih masih duduk di  ruang tunggu Stasiun. Mendapati kenyataan yang berlalu tak seperti kehendak diri. Sepuluh tahun menunggu hilang pupus, sekali lagi Ratih harus menerima hatinya untuk tertutup lagi.

Kecantikan Ratih memang tak bisa dibohongi, meskipun dalam keadaan terpuruk sekalipun, auranya tetap menyita para porter yang sesekali meliriknya, para calon penumpang dan petugas stasiun yang sengaja mondar-mandir hanya untuk menatapnya. Sepasang matanya tetap terlihat indah meski air mata telah jatuh hingga membasahi pipi.

Lebih dari setengah jam Ratih tertahan di stasiun, setelah menghapus semua air mata yang jatuh di pipi, dengan langkah pasti Ratih menuju Honda Jazz Silvernya, mencoba terus tersenyum dan menyibukkan otak dengan memikirkan hal-hal lain selain kenangannya bersama Alfa. Tepat saat Ratih menutup pintu mobil, ponselnya berdering, ada satu pesan masuk. Tanpa basa-basi Ratih membacanya.

“Kamu dimana, Tih?? Aku dirumahmu nih,”  Satu pesan dari Rama mengubah mood Ratih seketika.

“Di Stasiun nih, tunggu ya aku otw,” (SENT)

Honda Jazz Siver yang dikendarai Ratih langsung meninggalkan Stasiun. Senyum Ratih menghiasi mobilnya, lalu Ratih menyalakan Radio tempat pelariannya selain Rama. Sahabatnya masa kuliah, partner in crime. Ratih selalu bingung, kenapa setiap dia mengalami keterpurkkan Rama selalu ada, saat dia sedih Rama selalu ada, saat dia terpukul juga Rama selalu ada. Tuhan seperti memberikan Rama sebagai teman Ratih untuk menceritakan banyak hal.

Rama adalah seorang penulis artikel disalah satu koran terkenal, sikapnya yang tenang membuat banyak perempuan mendekatinya. Rama pria yang sederhana, gaya berpakaian sehari-hari sangat sederhana. Kaos polos, celana chino, arloji yang dipakai di tangan kanan adalah ciri khas Rama. Rama hanya memakai sepatu saat celana yang dia pakai panjang dan memakai sandal hanya saat dia memakai celana pendek, sederhana tapi berkelas.

Rambut cepak selaras dengan bentuk wajahnya, warna kulitnya mirip warna kulit Ratih, lesung pipit di pipi kanannya menjadi daya tarik sendiri, apalagi saat Rama memakai kacamata, aksesoris favoritnya. Keluarga Rama dan Ratih sudah saling mengenal bahkan terlihat seperti keluarga. Tetap saja Ratih tak pernah memusingkan perkataan teman-temannya yang menyarankan untuk menjalin hubungan dengan Rama. Baginya Rama adalah bagian dari keluarga, yang mengerti Ratih luar-dalam.

Mobil Ratih berhenti—menutupi setengah pagar rumah. Terlihat mobil Rama yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Rama menunggu di teras rumah Ratih. Hal yang biasa dilakukan Rama saat menunggu Ratih mandi atau make up yang memakan waktu lama. Kursi kayu itu bahkan beraroma tubuh Rama, spray cologne bold, aroma cool yang menenangkan.

“Kok nggak masuk, Ma??” Ratih menutup pagar rumahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline