Tradisi ruwat desa/ ruwat deso (dalam bahasa jawa) merupakan tradisi yang tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan di kabupaten Sidoarjo. Masyarakat di pedesaan masih mempercayai adat istiadat yang di wariskan. Dalam bahasa jawa "Ruwat" berarti " luwar" yang berarti melepaskan atau membebasakan, dimana yang dimaksud dengan melepaskan/membebaskan menurut kepercayaan warga setempat yaitu membebaskan dari malapetaka yang tidak diinginkan melanda desa.
Dengan kata lain Ruwat Desa oleh masyarakat dimaknai dengan sedekah bumi sebagai bentuk syukur dan bertujuan untuk mendo'akan para tokoh pendiri desa juga memanjatkan do'a kepada Allah SWT agar diberikan perlidungan desa dari hal buruk dan juga agar hasil pertanian warga dijauhkan dari hama perusak.
Di setiap desa di Sidoarjo yang melaksanakan tradisi ini tentunya memiliki cara uniknya tersendiri. Salah satunya Desa Tanjungsari yang ada di kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang hingga saat ini masih mempercayai dan melaksanakan tradisi ini . Desa Suruh terdiri dari 4 dusun yaitu dusun Tanjungsari, dusun Ngampel, dusun Dodokan, dan dusun Kempreng. Keempat dusun tersebut juga memiliki keunikan sendiri dalam melaksanakan tradisi Ruwat Desa.
Tradisi atau ritual yang diadakan pada bulan Ruwah (dalam kalender jawa) atau bulan Sya'ban (dalam kalender Hijriyah) ini identik dengan digelarnya wayang kulit. Mengapa wayang kulit? Karena selain sudah ditetapkan sejak zaman leluhur terdahulu, digelarnya wayang kulit diharapkan tidak hanya sebagai tontonan akan tetapi juga tuntunan bagi wara karena dalam setiap cerita yang ditampilkan tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan tahlil dan doa bersama dilaksanakan pada malam hari 2 hari sebelum ruwat desa diadakan, bertempat di masjid atau mushalla utama dusun. Dilaksanakan seperti tahlil pada umumnya. Seperti membaca surat yasin dan juga diselingi shalawat nabi dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapat perlindungan-NYA.
Pada rangkaian ini semua warga desa berkumpul di masjid baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak semua turut andil. Kegiatan ini dibarengi dengan syukuran dengan membawa asahan yang berisi nasi tumpeng dan jajanan untuk dimakan bersama di punden . Tujuan daripada rangkaian ini mendoakan leluhur pembabat alas.
Sebelum pagelaran wayang kulit dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan arak-arakan syukuran pada siang hari sampai waktu ashar yang dilaksanakan di balai dusun setempat kemudian berhenti dan dilanjutkan pada malam harinya barulah wayang kulit yang sesungguhnya sebagai rangkaian inti dari tradisi ruwat desa. Biasanya pada rangkaian ini seluruh warga dari ketiga dusun hadir di balai desa untuk menghadiri wayang kulit hingga pukul subuh menjelang.
Dalam pelaksanaan ritual ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi, biaya tersebut ditanggung bersama dengan iuran warga setempat dengan harapan ritual/tradisi ini tidak luntur akan zaman yang semakin modern. Ritual ini dilaksanakan tanpa adanya pantangan-pantangan tertentu layaknya acara adat yang lainnya. Akan tetapi, ritual ini tetap berjalan dengan hikmat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H