Lihat ke Halaman Asli

Zaffira Nurfitria Damayanti

Universitas Airlangga

Gen Z, Generasi "Melek Teknologi" dan Si Paling Open Minded yang Banyak Haters-nya

Diperbarui: 2 Juni 2022   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hello Peeps! Disini mungkin kita sudah tidak asing mengenai istilah Millenials, Boomers ataupun Gen Z. Secara definisi, Boomers adalah sebutan untuk orang yang lahir pada tahun 1965 sampai 1980an. Sedangkan Milennials adalah sebutan bagi orang yang lahir tahun 80an sampai 90 pertengahan. Untuk Gen z, ada banyak pendapat yang berbeda mengenai estimasi waktu lahirnya. Ada yang menyebutkan dihitung dari tahun 1997 sampai 2012, ada pula yang berpendapat Gen Z adalah orang yang lahir pada tahun 2000an kebawah. Lalu apa sih, permasalahan serta hal positif maupun negatif yang dialami generasi ini?. Tulisan ini akan mengupasnya secara mendalam berdasarkan fakta lapangan dan teori para ahli.

Seperti yang kita ketahui bahwa Internet baru berkembang pesat pada tahun 90an. Di Indonesia sendiri provider internet pertama yakni Indonet baru masuk tahun 1997. Faktor inilah yang membuat Gen Z menjadi generasi yang sangat familiar dengan teknologi digital. Hal tersebut secara positif berpengaruh terhadap skill yang dimiliki perorangannya baik dalam aspek pekerjaan, kualitas pendidikan, dan pola pikir. Presentase Gen Z dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2021 yakni mencapai 27,94% dari total penduduk Indonesia juga menjadi alasan teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat pesat. Misalnya dari segi lapangan pekerjaan, banyak Gen Z yang mampu membuka lapangan pekerjaan baru berbasis digital seperti digital marketing, content creator, live streaming host, esport enthusiast, dan sebagainya. Dari segi pendidikan, mudahnya mengakses informasi akibat globalisasi juga membuat generasi ini memiliki wawasan yang lebih mendalam mengenai dinamika internasional. Dari segi mental, Gen Z dianggap mempunyai percaya diri yang lebih tinggi (Patel, 2017). 

Namun disisi lain, cepatnya arus globalisasi juga membuat segala ideologi dari luar dapat masuk. Tentu dibutuhkan kebijaksanaan dalam memilah informasi yang kita dapat. Tidak munafik, memang setiap generasi memiliki sisi negatifnya sendiri. Tetapi bila kita melihat dari segi psikologis, Gen Z berada di usia remaja atau fase labil yang identik mencari jati diri. Yang biasanya ditandai dengan ego yang tinggi, antikritik, dan cenderung meniru tokoh yang ia sukai/teladani. Hal ini lah yang membuat Gen Z lebih terlihat negatifnya daripada generasi lain. Perlu diketahui bahwa penulis sendiri juga lahir setelah tahun 2000, sehingga dapat relate dengan kondisi mental sebayanya. Ironis bukan? Harus mengklarifikasi latarbelakang agar dianggap objektif dan mencegah kritik dikemudian hari. Karena ramai dibicarakan bahwa generasi ini dianggap terlalu sensitif terhadap apapun nasehat dari generasi diatasnya.

Di media sosial maupun dunia nyata, adanya cancel culture yang diadopsi dari tren western, membuat orang lain ragu untuk menyatakan pendapatnya apabila berbeda haluan dengan suara mayoritas, karena pasti akan dikecam atau dibully habis-habisan. Kita ambil contoh mengenai kampanye LGBT. Yang pada awalnya mencari keadilan dengan alasan kemanusiaan, kini menjadi gaya hidup dan lumrah karena banyak dukungan dengan dalih kebebasan berekspresi. Promosi berupa konten, tagar, dan bangga sebagai pendukung LGBT tentu sering bersliweran dimedia sosial. Sedangkan orang yang tidak menyetujui, seakan dibatasi pendapatnya. Contohnya seorang dokter yang menolak LGBT dengan alasan peningkatan drastis kasus HIV/AIDS di sebuah kota di Jawa Barat, beliau langsung dikecam habis-habisan. Bahkan hal pribadi seperti agama beliau juga ikut dibahas hanya karena beliau berhijab. Memang, tidak semua Gen Z mengecam dokter tersebut, namun yang mengecam beliau sudah pasti Gen Z, karena latar belakang “melek teknologi” yang sudah dijelaskan tadi.

Penulis secara  pribadi mendukung adanya paham atau gebrakan baru yang berlandaskan pada kemanusiaan seperti kesetaraan gender, feminisme, dan gerakan penyelamatan bumi (green perspective). Namun bukan berarti orang yang belum mengetahui hal tersebut langsung dicap bodoh, konservatif, maupun berpikiran sempit. Padahal fakta dilapangan, kadang banyak Gen Z yang hanya ikut-ikutan menyebar konten, tagar, dan lain sebagainya tanpa mengetahui esensi dari topik tersebut. Kita ambil contoh paham feminisme. Yang awal mulanya menjadi gerakan untuk menolak opresi terhadap perempuan agar perempuan dapat mendapat hak yang sama dan setara sebagai manusia, kini dianggap sebagai gerakan anti memasak dan ajang merendahkan serta membenci laki-laki. Terdengar kasar, namun kalimat seperti ini akan mudah ditemui dalam argumen selebgram bahkan tokoh publik yang mempunyai pengaruh yang besar. Beberapa faktor inilah yang mendasari adanya kritik terhadap ‘oknum’ Gen Z. Baik dari generasi diatasnya maupun dari sesama Gen Z sendiri.

Adanya tulisan ini disamping untuk menjelaskan bagaimana keadaan dunia media sosial yang kita tidak bisa acuh karena berkutat disitu setiap hari, juga untuk evaluasi kita sebagai generasi harapan bangsa. Memperdalam ilmu dan wawasan global memang sangat penting, namun juga dibutuhkan kebijaksanaan dalam menghadapi paham baru. Tidak melupakan mengenai adat Timur kita, dan mendengarkan pernyataan dari generasi diatas kita yang tentu sudah hidup lebih lama daripada kita tentu tidak ada salahnya. Persepsi mengenai orang yang open minded adalah bebas dan antikritik tentu perlu kita luruskan menjadi orang yang terbuka terhadap segala pendapat serta tidak judgemental. Apalagi merasa paling benar dan merendahkan gender lain tentu tidak mencerminkan esensi openminded itu sendiri.

Terimakasih XOXO!!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline