"Kita tarawih dan tadarus di rumah ya?" Kata saya pada istri dan anak-anak.
"Iya, kita dihimbau supaya di rumah saja." Jawab istri saya menegaskan.
"Jangan lama-lama lho Pak." Anak kedua saya meminta syarat."
Iya Pak. Bapak kalau ngimami tarawih di musholla biasanya lama." Kata Si Sulung protes.
"Ah, perasaan Bapak sama dengan imam yang lain. Khan rakaat pertama membaca Surat At Takatsur hingga Al Lahab." Kata saya berusaha membela diri.
"Iya sih Pak, tapi pokoknya lama dech." Kata Si Sulung tak mau kalah.
Pikiran saya mengatakan bukan orang tua yang baik kalau tidak berusaha mengajarkan sesuatu pelan-pelan. Saya pun mengalah. Ibaratnya, sopir ikut apa kata penumpang.
Singkat cerita, anak kedua saya, laki-laki, didaulat jadi bilal. Bertugas iqamat dan memberikan tanda setiap akan melakukan salat tarawih dan witir. Di-training sebentar, alhamdulilah sudah faham.
Tentu bacaan bilal yang digunakan tidak selengkap dan sedetail seperti di masjid atau musholla. Menyebutkan nama empat sahabat Khulafaur Rasyidin. Cukup memakai kalimat pendek sebagai tanda salat X akan dilaksanakan.
Jabatan imam jatuh pada kepala keluarga, saya. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pilihan surat bakda Fatihah dipilih Surat Al Kautsar di rakaat pertama, hanya tiga ayat. Di rakaat kedua terpilih Surat Al Ikhlas dengan empat ayat. Andaikan ada surat lain dalam Al Quran yang memiliki banyak ayat lebih sedikit, tentu akan menjadi pilihan utama. Jadi teringat ceramah seorang mubaligh, "Qul Hu Ae Lek!" Hahaha . . . .
Bersambung