Lihat ke Halaman Asli

Zaenal Arifin

Kawula Alit

Cerpen | Rasa yang Hilang

Diperbarui: 24 Maret 2019   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rasa itu dahulu memuncah. Tinggi di ujung, tak seorangpun dapat menggapai. Teramat tinggi. Menggebu-gebu, tiada menentu. Super semangat. Pokoknya harus terwujud. Apapun sudah kulakukan. Segala usaha, berbagai ikhtiar telah kujalankan. Doa-doa, jopa-japu, berbagai syarat, perlengkapan, kusediakan.

Lima tahun pasca menikah, belum dikaruniai momongan lah penyebabnya. Aku sudah mencoba berbagai usaha. Medis, non medis, alternatif, modern, kuno, bacaan doa-doa, suwuk, jampi-jampi, aku tidak tahu artinya. Tetap saja kuturuti. 

****

Tahun keenam usia pernikahan. Rasa bahagia. Senang tidak karuan. Pagi itu, ada rasa tak biasa. Saat keluar dari kamar mandi. Berlari-lari, berteriak "Mas Zae! Mas Zae! Aku positif!" Kutunjukkan garis merah dua, pada test pack. Mas Zae berkata sambil mengepalkan tangan kanan "Yes, positif!"

Orang tua dan mertua langsung kuberi tahu. Mereka senang bukan kepalang. Aku ibarat putri raja. Begini tidak boleh, begitu dilarang. Tidak boleh lelah, tidak boleh bepergian jauh-jauh. Asupan gizi harus terjamin. Rutin ke bidan. Setiap bulan harus kontrol. Dua minggu sekali ke Puskesmas. Hari Rabu dan Kamis. Poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

****

Empat bulan, perutku kelihatan buncit. Aku mual-mual, ada pendarahan, entah apa penyebabnya. Apa kelelahan? Kemarin aku dan Mas Zae pergi ke rumah saudara. Jalannya penuh bebatuan. Maklum jalan desa. Masya Allah, ada gumpalan daging keluar. "Mas Zae! Mas Zae!" Aku pendarahan. Aku keguguran.

Aku menangis sedu sedan. Mas Zae menenangkan. Mertua laki-lakiku segera memproses calon bayiku. Disucikan, dibungkus kain kafan, dan memakamkanya. Calon bayi laki-laki, kira-kira begitu terlihat olehku.

Sedih, bayi yang kunantikan enam tahun. Harus diambil oleh Tuhan. Gelap gulita seakan seisi rumah. Tetangga ikut berbela sungkawa. Membacakan doa-doa. Kesedihan terbawa hingga berbulan-bulan.

Usaha untuk memperoleh momongan tetap kuusahakan. Ikhtiar dengan berbagai cara. Pengobatan demi pengobatan. Konsultasi dengan ahli kandungan. On klinik pun kulakukan. Hingga sepuluh tahun usia pernikahan. Rasa gundah gulana, ketika ditanya "Putranya sudah berapa?" Perih, sedih, jika teringat calon anakku yang harus pergi. Kecewa, menyesal, merasa bersalah, tidak terampuni membayangkan perjalanan ke desa saat itu. Membuatku kelelahan, pendarahan, dan keguguran. "Ya Allah, ampuni aku!"

Komunitas pertemanan, persahabatan, reuni keluarga. Tidak lepas dengan pertanyaan seputar keluarga. Banyak anak, umur, kelas berapa. Minder, ingin, dan iri. Iri dengan teman yang sudah punya momongan. Ingin rasanya segera punya anak seperti mereka. "Ya Allah, kapan aku? Ya, Tuhan apakah aku tidak pantas menerima amanah-Mu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline