Tanggungjawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) memang bukan barang baru di Indonesia. Wacananya mulai mendapatkan perhatian luas dari banyak kalangan dari awal tahun 2000an. Sejak saat itu CSR menjadi topik yang hangat dibicarakan dipelbagai forum dan sering mendapatkan sorotan. Utamanya di perusahaan yang bergerak dalam industri pengelolaan sumber daya alam yang bersifat ekstraktif.
Dalam pengimplementasiannnya dilapangan memang masih sangat beragam, ada perusahaan yang sudah menerapkannya dengan serius dan cukup baik, sehingga program-program CSR yang dijalankan benar-benar memberdayakan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun tidak sedikit juga perusahaan yang masih melaksanakan CSR dengan alakadarnya. Program yang mereka jalankan masih jauh dari prinsip-prinsip dan kaidah pemberdayaan masyarakat. Hanya sebatas pemberian bantuan yang bersifat charity, yang justru dikhawatirkan bisa menciptakan ketergantungan masyarakat kepada perusahaan.
Setidaknya ada 3 faktor internal yang bisa menjadi kunci sukses dalam pelaksanaan CSR oleh kalangan dunia usaha, yaitu komitmen dari top manajemen perusahaan, struktur organisasi CSR dan kapasitas sumber daya manusia pengelola CSR. Ketiga masalah inilah yang masih menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh banyak perusahaan dalam mengembangkan program-program CSR yang sesuai dengan kaidah dan prinsip CSR yang baik.
Dalam konteks permasalahan pertama, masih banyak pemangku kebijakan di perusahaan yang menempatkan CSR hanya sebatas lips service semata, tidak menempatkannya sebagai bagian dari visi dan misi yang menjadi target yang harus dicapai oleh perusahaan. CSR dikeluarkan hanya sebatas untuk memenuhi kewajiban regulasi atau sekedar untuk meredam tuntutan dari masyarakat. Implikasi utama dari permasalahan pertama ini biasanya akan berdampak kepada permasalahan kedua dan ketiga.
Permasalahan yang kedua adalah penempatan struktur organisasi CSR di perusahaan. Masih banyak perusahaan yang belum menempatkan CSR dalam posisi struktur organisasi yang kuat dan memadai untuk melaksanakan program CSR. Sebagian ada yang masih dirangkap oleh Departemen HR atau hanya setingkat kehumasan saja. Implikasi dari persoalan ini kadang PIC CSR menjadi tidak fokus, menghadapi overload pekerjaan karena harus ikut menangani juga urusan lainnya. Padahal urusan yang terkait pelaksanaan program CSR ini butuh keseriusan dan perlu fokus yang tinggi karena mencakup kegiatan yang cukup banyak dan kompleks, mulai dari perencanaan, implementasi, pelaporan dan evaluasi program.
Idealnya, CSR bisa dikelola oleh divisi atau departemen tersendiri yang dikepalai oleh PIC setingkat Direktur atau GM. Keberadaan divisi atau departemen tersendiri akan membuka ruang dan keleluasaan yang cukup bagi para pengelola CSR di perusahaan untuk melakukan berbagai inovasi program yang disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan. Walaupun begitu, tentu saja keberadaan divisi atau departemen CSR tidak serta merta bekerja sendiri dan terpisah dari proses kerja divisi yang lain.
Permasalahan yang ketiga adalah terbatasnya sumberdaya manusia pengelola CSR yang mempunyai kompetensi yang cukup dalam memahami kaidah-kaidah sosial. Baik dari sisi pengalaman pekerjaan maupun latar belakang pendidikan. Nampaknya sampai sekarang masih banyak perusahaan yang belum mempunyai komitmen untuk menempatkan orang-orang yang benar-benar mempunyai kapasitas mumpuni di bidang pemberdayaan masyarakat. Masih banyak perusahaan yang menganggap CSR tidak terlalu penting karena tidak terkait langsung dengan proses produksi, sehingga orang-orang yang ditempatkan pada bagian ini bukan orang-orang pilihan yang mempunyai prestasi cemerlang. Seringkali orang-orang yang ditempatkan pada bagian ini adalah orang yang mempunyai kapasitas alakadarnya.
Diluar tiga permasalahan internal yang telah dibahas diatas, masih banyak permasalahan lainnya, seperti dukungan finansial yang memadai berupa pengalokasin budget yang sesuai dengan kebutuhan program dan kurangnya perencanaan yang matang dalam menyusun sebuah program CSR. Seringkali program di desain secara top down tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Selain tentunya sangat reaktif dan hanya menjadi pemadam kebakaran semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H