Dalam perhelatan Pilpres 2014, Jokowi-JK merancang sembilan agenda prioritas yang kemudian dikenal publik dengan istilah Nawa Cita. Program Nawa Cita ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Sehingga kemudian dimasukkan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019.
Salah satu janji yang terdapat dalam Nawa Cita poin ke 5 adalah mendorong adanya landreform dan kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar. Sejauh mana realisasi janji itu setelah hampir empat tahun beliau memimpin negeri ini? Hal yang penting untuk ditanyakan, karena Nawa Cita bukan sekedar janji politik akan tetapi sebuah kontrak politik antara Presiden dan Wakil Presiden dengan rakyatnya.
Mengenal Landreform di Indonesia
Payung hukum pelaksanaan land reform adalah UU Pokok Agraria No. 5/1960, UU Perjanjian Bagi Hasil No. 2 /1960 dan TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang PA-PSDA. Indonesia sendiri pernah menjalankan landreform di awal tahun 1960-an. Pelaksanaan landreform secara efektif berlangsung antara kurun waktu 1961 hingga 1965. Kegiatan utamanya berupa pendaftaran tanah dan penetapan tanah kelebihan dan pembagiannya kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah.
Namun adanya peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde tahun 1965, menyebabkan program landreform dibekukan dan tidak dilanjutkan karena dianggap sebagai bagian dari kebijakan Presiden Soekarno. Bahkan landreform sering dituduh sebagai bagian dari propaganda yang dilancarkan oleh partai komunis. Penguasa orde baru saat itu lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dari pada menata ulang ketimpangan pemilikan sumber-sumber agraria. Orientasi orde baru adalah menguatkan tatanan masyarakat kapitalis.
Dimana tatanan masyarakat dibangun diatas eksploitasi, akumulasi dan ekspansi modal. Sehingga ketimpangan distribusi pemilikan alat-alat produksi dan pendapatan tidak perlu dipermasalahkan, karena nantinya ketika ekonomi membaik akan dinikmati oleh semua kelompok masyarakat.
Dampak dari kebijakan orde baru tersebut menyebabkan ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia semakin hari semakin tinggi. Laporan Global Wealth yang dibuat Credit Suisse's, menempatkan Indonesia peringkat keempat negara yang kesenjangan ekonominya paling timpang di dunia. Di mana 1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Menurut data BPS tahun 2017, jumlah penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 189,1 juta jiwa. Sebanyak 42% di antara angkatan kerja itu berlatar belakang pendidikan SD. Adapun, 31,9% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Dua sektor yang disebut pertama berhubungan erat dengan ketersediaan lahan.
Dalam empat dekade terakhir rasio gini kepemilikan lahan di Indonesia ada di kisaran 0,50 sampai 0,72. Data terakhir Badan Pusat Statistik, pada 2013 rasio gini itu mencapai 0,68. Angka itu dibaca, 1% kelompok penduduk menguasai 68% lahan di Indonesia.
Landreform ala Jokowi
Banyak pihak yang pesimistis dengan apa yang dijanjikan Jokowi dalam Nawa Cita di sektor agraria. Karena memang butuh nyali besar untuk bisa mewujudkan reforma agraria di era liberalisasi tanah dewasa ini. Bentuk reformasi agraria yang dipilih oleh pemerintahan Jokowi memang tidak terlalu frontal. Hal yang paling banyak mencuri perhatian publik adalah program bagi-bagi sertifikat.