Lihat ke Halaman Asli

Zacky Damiansya Monandar

Mahasiswa S-1 Hukum Universitas Andalas

Analisis Ujaran Kebencian di Instagram terhadap Paslon Cagub-Cawagub Provinsi Sumatera Barat pada Pilkada 2024

Diperbarui: 2 Desember 2024   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Media Sosial (Sumber: Pexels/Tracy Le Blanc)

Ujaran kebencian merupakan tindakan menyampaikan sesuatu yang dapat melukai martabat individu atau kelompok. Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui tindakan provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada orang lain. Ujaran kebencian pada umumnya menyangkut aspek ras, warna kulit, gender, kelainan fisik, dan agama. Selain itu, ujaran kebencian juga kerap ditemukan pada aspek kewarganegaraan, seperti dalam pesta demokrasi yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat, yakni Pilkada 2024.

Pemilihan Kepala Daerah, atau yang disingkat menjadi Pilkada adalah pentas demokrasi 5 tahun sekali yang diadakan di Indonesia, dengan tujuan untuk memilih pasangan calon gubernur-wakil gubernur di tingkat provinsi, bupati-wakil bupati di tingkat kabupaten, dan wali kota-wakil wali kota di tingkat kota. Elektabilitas yang didapatkan masing-masing paslon bersumber dari apa dan bagaimana visi-misi yang mereka rencanakan. Sejatinya, hal tersebutlah yang kemudian melahirkan basis pendukung tiap-tiap paslon, terlepas dari adanya pengaruh politik identitas.

Basis pendukung merupakan wadah di mana mereka yang memiliki kesamaan pandangan politik dapat bersatu. Tujuan mereka adalah sama, yakni menjadi tim sukses paslon yang mereka dukung. Berbagai upaya dilakukan agar masyarakat tertarik untuk memilih paslon yang dipromosikan. Salah satu caranya adalah melalui media sosial.

Sayangnya, tidak semua orang menggunakan sosial media dengan bijak. Kemudahan dalam mengakses dan saling bertukar informasi melalui dunia maya ternyata dapat menjadi “pisau bermata dua”. Dalam topik yang akhir-akhir ini menjadi polemik, yakni Pilkada 2024, internet melalui media sosial kerap kali digunakan sebagai alat menyampaikan ujaran kebencian oleh oknum tertentu. Fanatisme yang dimiliki oleh para oknum dapat menimbulkan konflik kepentingan antargolongan akibat dekadensi moral dan provokasi yang mereka lakukan. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengganggu keharmonisan dalam hidup berbangsa dan bernegara, bahkan bisa menyebabkan disintegrasi nasional.

Bentuk-bentuk ujaran kebencian yang ditemukan

Berdasarkan analisis terhadap sejumlah komentar pada postingan media sosial, terdapat beberapa bentuk ujaran kebencian yang muncul. Diantaranya penghinaan dan provokasi. Secara detail bentuk ujaran kebencian yang kami temukan dideskripsikan sebagai berikut.

  • Penghinaan

Penghinaan merupakan bentuk dari ujaran kebencian yang bertujuan untuk merendahkan, mencela, menistakan, atau melecehkan seseorang. Biasanya, penghinaan dilakukan dengan merendahkan fisik, warna kulit, suku, ras, agama, atau menyamakan seseorang dengan binatang. Selain itu, penghinaan juga bisa berupa tuduhan yang belum terbukti kebenarannya terhadap seseorang. Tuduhan ini dapat masuk dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, sementara penghinaan ringan berupa makian diatur dalam Pasal 315 KUHP. Berikut analisis beberapa ujaran kebencian yang dilontarkan kepada paslon gubernur Sumatera Barat.

Komentar yang ditulis oleh akun @ricardhotg2612 pada unggahan Instagram @vasco_ruseimy mengandung kata-kata yang dapat dianggap sebagai penghinaan. Kata “GOBLOK”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “bodoh sekali” digunakan secara langsung untuk merendahkan dan melecehkan Vasko. Selain itu, ungkapan “VASCO VASCO MAKAN TAI AJA” juga merupakan bentuk penghinaan, di mana kata “tai” digunakan sebagai ungkapan yang kasar dan merendahkan martabat seseorang. Kalimat tersebut ditujukan untuk mempermalukan Vasko dan menunjukkan rasa tidak hormat secara verbal.

Pada unggahan lainnya akun Instagram @vasco_ruseimy, terdapat komentar dari akun @antoni56722 yang menyebutkan kalimat “Ka picayo lo jo permainan urang Jawa?” Komentar ini menunjukkan ketidakpercayaan terhadap orang Jawa secara umum. Selanjutnya, dalam kalimat, “…iko asa usul dk jaleh ka di piliah jadi wakil di nagari awak yo tambah ancua Minangkabau ko lamo lambek mah”, jika menggabungkannya pada kalimat sebelumnya maka terdapat ancaman yang menyatakan bahwa keterlibatan orang Jawa dalam politik Sumatera Barat akan membawa dampak buruk bagi Minangkabau. Jika ditelusuri lebih lanjut, Vasko sebenarnya merupakan orang Minangkabau. Meskipun ia lahir di Jakarta, orang tuanya berasal dari Minangkabau. Dengan demikian, komentar tersebut tidak hanya mengandung ujaran kebencian dan penghinaan terhadap masyarakat Jawa, tetapi juga bersifat provokatif dan memuat tuduhan yang tidak didasarkan pada fakta yang jelas.

Pada unggahan Instagram @info_solok, akun @sangzhuxin memberikan komentar yang berbunyi, “Epriyadi pacaruik ndak layak jadi pemimpin....” Kata “pacaruik” dalam bahasa Minang berarti orang yang suka berkata kasar. Namun, nyatanya tidak ada informasi atau bukti yang mendukung bahwa Epriyadi adalah seseorang yang sering berkata kasar. Oleh karena itu, pernyataan dari akun @sangzhuxin dapat dianggap sebagai tindakan pencemaran nama baik, karena tuduhan tersebut disampaikan tanpa data atau fakta yang mendukung kebenarannya.

  • Provokasi
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline